Enaknya emak punya dua anak gadis, sudah banyak yang bisa mereka kerjakan sendiri.
Salah satunya adalah, mencuci piring.
Heeem, ada aja alasan cewek-cewek ini untuk tidak cuci piring.
Sebenernya, mereka mau mencuci piring. Bisa, sudah pasti. Tidak diragukan lagi.
Tapi, menghilangkan rasa malas itu lo yang luar biasa.
Bila makan sendiri-sendiri, bukan makan bersama di meja makan, bisa dipastikan mereka akan mencuci piringnya masing-masing.
Tetapi, ketika makan malam bersama di meja makan, kok ya bisa-bisanya terus pada mlipir sendiri-sendiri pura-pura lupa kalo piringnya harus dicuci sendiri-sendiri.
Sebenernya, apa ini namanya mereka belum mandiri? Bukan, mereka pasti hanya ngisengi saya. Mumpung ada maknya, pasti mereka maunya biar mama aja yang cuci piring.
Karena di rumah neneknya pun atau kalo tidak ada saya, ya pada cuci piring sendiri.
Rupanya mumpung ada mama, mereka menggunakan prinsip, kalau ada yang mencucikan, kenapa harus cuci sendiri?
Baiklah, semakin menjauh dari meja makan, mak semakin teriak.
Piringnya belum diangkuuuut...
Iya maaa.. balik lagi lah mereka.
Terkadang mereka melakukan negosiasi.
Hm, smart kids jaman now.
Jadi, kadang ada perintah tambahan untuk membantu merapikan meja makan, mengisi botol minum, dan memasukkan sisa makanan ke lemari es.
Weeelll, langsunglah si Ica dan Fia melakukan manuver-manuvernya kepada saya.
"Ma, aku yang isi botolnya smua, tapi mama yang cuci piringku ya?" Ini Fia.
"Ma, aku merapikan meja makan sama smua makanan, tapi mama yang cuci piringku ya?"
Itu Ica.
Bagaimana Anda kalo jadi saya?
Sementara saya sudah berada di depan bak cuci piring sementara mereka berdua tersenyum tengil kepada saya?
Ya sudah, luluh lantak maknya ini.
Alhasil, saya mencuci piring-piring mereka.
Tapi, saya juga mendapatkan botol air penuh dan meja makan yang bersih.
Win-win solution buat saya.
Bagaimana dengan besok? Ah, itu bisa-bisanya saya saja nanti.
Nego lagi? Baik. Asal sama-sama bekerja, no problem
Love you girls!
#hari9
#gamelevel2
#tantangan10hari
#melatihkemandirian
#kuliahbundasayang
@institut.ibu.profesional
Aku berani sendirian di rumah kok!
Itu selalu yang dikatakan anak-anak bila kami berdua harus meninggalkan rumah dalam beberapa waktu.
Iya sih nak, memang berani. Tapi mama yang kuatir.
Jadi yang bermasalah siapa sebenernya ? 😂👩
Kemudian mau tak mau, kami melakukan ini sebagai pembelajaran untuk kami dan anak-anak juga. Apakah anak-anak ketika ditinggal sendiri bisa melaksanakan tanggung jawabnya? Apakah kami yang meninggalkan anak-anak di rumah bisa tenang dan memasrahkan sepenuhnya kepada Alloh?
Ketika Fia sudah bisa menjaga adiknya, mulai kami lepas untuk ditinggal dirumah sendiri.
Semakin besar seperti sekarang ini, sering dia di rumah sendiri. Masak sendiri, mencuci piring sendiri. Menyiapkan segala sesuatu sendiri.
Hitung-hitung latihan ngekost.. ^mak kejam👧💋
Kemudian, Ica mulai belajar untuk di rumah sendiri. Alhamdulillah sejak pindah ke rumah sekarang, Ica dan Fia sudah mulai sangat nyaman dan mampu mengatasi hal-hal kecil yang harus dilakukan sendiri.
Suatu ketika, Ica menolak ikut kami ke suatu acara. Dan saya sangat gusar karena saya tidak nyaman membiarkan dia di rumah sendirian. Ketika awalnya Ica bilang ikut, tapi kemudian di dekat menit terakhir, dia menolak.
Dengan setengah jengkel saya memarahi dia, walau kemudian menyesal. Tapi itu terjadi karena saya tidak sedang dalam kondisi siap meninggalkan dia sendiri di rumah.
Singkat cerita, saya galau sepanjang malam memikirkan Ica sendiri di rumah. Ingin lekas pulang dari acara itu.
Ketika sampai di rumah, lekas-lekas saya cek Ica, Alhamdulillah baik-baik saja.
Ya iyalah sudah gede. Sudah SMP kelas 2. Saya yang terlalu khawatir.
Tapi yang bikin surprise, ternyata Ica mencuci semua piring dan menatanya kembali masuk ke lemari.
Love you Dek.
#hari8
#gamelevel2
#tantangan10hari
#melatihkemandirian
#kuliahbundasayang
@institut.ibu.profesional
Punya duo gadis, tega ndak tega mengajarinya. Sungguh ini jangan ditiru!!
Mau tau kenapa?
Ceritanya, gadis-gadis dua yang sudah punya seabrek kegiatan ini adalah dua gadis nih, bukan anak-anak lagi. Tingginya sudah melebihi mama semua - yes, I am officially the shortest person at house -
Tapi bocah cewek dua ini masih suka aja ngeles kalo diminta cuci baju sendiri. Akhirnya saya mensiasati dengan minimal kerjakan dua hal kecil.
Cuci kerudung sendiri dan cuci baju dalam sendiri, dengan istiqomah.
Yah namanya bocah, masih kadang-kadang meleset juga.
Terkadang ingat kapan cuci kerudungnya, terkadang tidak.
Maka, saya pake cara paksa halus.
Saya letakkan masing-masing satu ember kecil di kamar mandi mereka dengan sabun cucinya sekaligus.
Hayo, mau kabur kemana?
Minimal ada di depan mata sarana untuk mencuci.
Alhamdulillah, Fia sudah mulai rajin dan ingat untuk mencuci sendiri.
Ica? Yah, masih diingetin sekali-sekali, tapi okelah.
Bismillah setelah ini menjadi lebih baik.. aaminn
#hari7
#gamelevel2
#tantangan10hari
#melatihkemandirian
#kuliahbundasayang
@institut.ibu.profesional
Sebuah perjalanan menuju ke sini, tidak mudah. Ada hal-hal yang telah dilewati.
Dan ketika anak-anak ini sudah beranjak dewasa, rasanya satu demi satu rasa yang dulu
pernah dilewati dengan penuh airmata, dan tawa, dan segala kelelahan, terbayar sudah.
Adalah masih panjang, tetapi di titik ini sedikit lega tercapai melihat apa yang sudah mampu mereka lakukan.
Si sulung, Fia. Hingga sampai di sini dia sudah mampu menghasilkan uang sendiri dari karya-karyanya.
Pada suatu saat, Fia meminta ijin kepada saya untuk mengikuti sebuah workshop lettering di sebuah hotel. Baiklah, silahkan. Tidak terlalu mahal, tapi worth untuk mengisi waktunya.
Fia berangkat kemudian, tapi setengah jam kemudian menelpon saya dan mengatakan ada kuasnya yang ketinggalan. Baiklah, terpaksa acara gosend ria seperti biasa.
Saya memantau dari instagram Fia tentang kegiatan hari itu, dia mempost beberapa story yang cukup seru tampaknya.
Sore kemudian Fia pulang. Dia bercerita sedikit tentang keramaian hari itu.
Lalu, keesokan harinya, tanpa sengaja dia bercerita tentang sebuah voucher yang diberikan kepada temannya.
Voucher apa, saya tanya.
Ternyata, hasil karya workshopnya dilombakan dan mendapat penghargaan di hari itu. Hadiahnya adalah voucher makan untuk dua orang di hotel tersebut, dan voucher hadiah itu diberikan kepada temannya, kasihan katanya..
Saya tertawa dan menyelamati dia atas kemenangannya.
Saya goda sejenak, kok nggak kasihan sama mama. Ndak dikasi ke mama aja vouchernya?
Dia manyun. Gak lah, mama bisa beli sendiri. Temenku kasihan.
Baiiiklah. 😂
Alhamdulillah, terimakasih Alloh. Gadis kecilku sudah tertempa pelan-pelan di dunia nyata dengan karya-karya kecilnya. Bismillah menjadi lebih besar lagi.. aamiin..
#hari6
#gamelevel2
#tantangan10hari
#melatihkemandirian
#kuliahbundasayang
@institut.ibu.profesional
Jam malam?
Iya. Ini namanya sudah deg-degan si emak punya dua anak gadis yang lagi seneng-senengnya dolan dengan temen-temennya..
Liburan pun datang, maka lalu bermunculan ijin dari dua orang gadis ini satu persatu.
Yang satu maunya nongkrong di perpustakaan publik seharian, yang satu mau jalan dengan teman-temannya di Tunjungan Plasa.
Hm, baiklah. Berlatih memberikan kepercayaan kepada mereka, tidak ada salahnya.
Berhubung papa juga masih ada urusan keluar kota, maka kedua gadis ini mau tak mau harus naik gojek untuk sampai ke tujuannya.
Fia sudah terlatih ke sana kemari naik goride. Bismillah saja mamanya ini.
Sementara Ica, masih belum tega saya melepaskan dia naik goride sendirian. Tapi ternyata hanya ke rumah temannya saja, yang tidak jauh, baiklah. Bismillah.
Singkat cerita, mereka sudah sampai di tujuan masing-masing dan memenuhi janjinya untuk mengabari saya sesampainya di sana.
Lewat whatsapp saya kabarkan kepada papanya, rencana anak-anak ini.
Anak gadis duo ini berjanji untuk kembali sampai di rumah lagi sebelum magrib.
Kemudian tanpa disangka, papa kembali ke rumah lebih cepat karena urusannya sudah selesai. Langsunglah si bapak ini menanyakan kemana smua anak gadisnya.
Sementara jarum jam sudah menunjukkan pukul lima sore.
Segeralah satu persatu mereka saya tanya via Whatsapp.
Cepat pulang, masih di mana?
Fia menagih janji untuk pulang dari sana boleh di jam setengah 6 sore untuk bisa sampai rumah jam 6 sore.
Saya katakan kepada Fia, hari ini terdeteksi macet di mana-mana, sehingga segera saja kembali pulang, karena nanti setelah gelap akan lebih susah lagi mencari ojek online yang ready.
Alhamdulillah Fia mengiyakan, dan mengatakan segera menyelesaikan pekerjaannya disana lalu order ojek online untuk pulang.
Sementara Ica, mengatakan bahwa dirinya baru saja selesai nonton dan tidak enak dengan temannya untuk meninggalkannya pulang sendirian. Sementara si teman sudah mendapatkan konfirmasi dari orangtuanya bahwa mamanya akan menyusul ke Tunjungan Plasa, sehingga Ica tidak bisa pulang bareng mereka dan harus pulang sendiri.
Saya berangkat menjemput sekarang pun sudah tidak masuk akal karena macetnya luar biasa, bisa balik sampe rumah lagi jam 9 malam.
Akhirnya Ica harus naik ojek online lagi. Saya memaksanya untuk segera order sekarang karena lepas dari jam lima maka disana akan macet dan akan sangat lama untuknya mendapatkan ojek online, dan gelap jalanan, saya lebih khawatir lagi.
Saya sampaikan itu dengan jelas kepada Ica.
Alhamdulillah Ica mau menurut, dan segera berpamitan dengan temannya. Mengorder ojek lalu pulang ke rumah.
Itulah, segede apapun mereka, saya masih harus menetapkan jam batas waktu untuk pulang, dengan kondisi yang disesuaikan dengan usia mereka nantinya.
Untuk yang kali ini, saya tidak bisa membiarkan mereka ada di luar rumah selepas magrib. Entah mengapa, saya memilih menuruti kata hati saya untuk memaksa mereka segera pulang. Bisa saja saya mengiyakan mereka untuk lebih lama di luar, tapi kali ini tidak.
Dan, Alhamdulillah anak-anak masih memahami batasan-batasan itu dan mematuhinya.
I am sorry girls, but it will grow in time. You will pass it later.
#hari5
#gamelevel2
#tantangan10hari
#melatihkemandirian
#kuliahbundasayang
@institut.ibu.profesional
Mempunyai dua gadis remaja ini susah-susah gampang. Uwow.
Sudah tidak bisa berbicara lagi dengan bahasa bayi. Harus banyak dialog selayaknya teman.
Sebenernya sejak kecil pun saya terbiasa berbicara dengan biasa kepada mereka. Bukan dengan bahasa bayi. Ketika bayi pun kami berbicara seakan-akan bisa saling memahami.
Beranjak di usia balita, saya dan suami berusaha membuat anak-anak tetap memiliki privacy walau dari hal terkecil, dari benda-benda yang dimilikinya.
Memberikan kamar sendiri dan memisahkan tidur mereka dengan sejak kecil, walau mereka berdua sharing kamar.
Bertambah usia, bertambah tanggung jawab yang kami berikan kepada mereka. Harus bisa membereskan kamar sendiri. Mulai berlaku reward and punishment. Reward untuk tasks kecil yang mereka bisa selesaikan sendiri, dan punishment untuk hal-hal yang sudah mereka janji untuk lakukan tapi tidak dipenuhi.
Contohnya, soal membereskan kamar.
Kedua anak ini memiliki gaya masing-masing.
Fia cenderung lebih santai, lebih tidak teratur menata barangnya, tapi tau di mana barang itu diletakkan.
Ica lebih rapi, tertata dan terstruktur, lebih suka menata dengan urutan.
Walau di dalam satu kamar yang sama, mereka punya sudut masing-masing.
Ketika mereka berjanji untuk membereskan kamarnya dalam satu waktu dan berhasil, reward bisa berupa sesuatu yang sederhana seperti beli spidol yang lama diinginkan, eskrim, makan bareng, atau semacamnya.
Bila ternyata mereka gagal membereskan kamarnya dalam satu waktu, maka punishment yang diberikan kadang berupa larangan nonton televisi selama 1 hari, atau tidak boleh main keluar sampai kamarnya rapi, dan lain-lain.
Semakin besar, beda lagi caranya.
Alhamdulillah kami bisa memisahkan kamar mereka eventually, dan akhirnya mereka bisa mengatur kamarnya masing-masing sesuai dengan keinginannya.
Semakin besar mereka, saya semakin tidak membantu membereskan kamar mereka.
Saya memberikan tanggung jawab sepenuhnya, dengan catatan, what you did is what you get.
Kamarmu kotor karenamu sendiri. Kamarmu nyaman karena kamu sendiri juga.
Saya juga tidak berinisiatif mencari-cari atau buka rahasia mereka, ngintip-ngintip diary, no way. Mereka harus dipercaya agar mereka bisa mempercayai orang lain juga.
Sempat terjadi, Ica, dengan santainya mengacak adul kamarnya tanpa rasa bersalah. Tapi di umur yang sama, Fia dulu juga pernah seperti itu.
Sekarang, satu pasang sapu dan cikrak saya masukkan ke kamar mereka. Dalam ukuran kecil.
Simple order, bersihkan sendiri kamarmu. Kotor atau bersih, itu tanggung jawabmu.
Bukannya lalu saya lepas tangan dan tidak mengontrol, bukan.
Setiap hari saya keluar masuk kamar mereka untuk melihat kebersihan dan kerapiannya.
Sepulang sekolah, tinggal ditegur aja bila memang belum bersih.
Rambut-rambut anak gadis yang suka lupa tidak disapu di lantai, itu concern saya, selalu saya minta untuk dibersihkan setiap hari.
Soal kerapihan kamar, itu relatif. Rapi buat saya, belum tentu nyaman buat mereka.
Kami membiarkan mereka menciptakan kamar mereka sendiri. Ruangan mereka sendiri.
Tempat mereka hibernasi, tempat mereka berkreasi.
Karena itu bukan kamar, tapi itu sarang mereka.
Tugas kami satu, mengawasi dan menggiring kembali ke right track.
So far, Alhamdulillah, still on right track walau kadang-kadang masih kebablas sedikit.
But that's a family, that's kids are, we are growing dan kami sedang berproses.
Kami menikmatinya..
#hari4
#gamelevel2
#tantangan10hari
#melatihkemandirian
#kuliahbundasayang
@institut.ibu.profesional
Tanpa terasa, sudah tiba saatnya buat si sulung untuk diwisuda.
Wisuda SMA.
Yas, sudah tua saya. Bagaimana tidak, si sulung sudah mau kuliah.
17 tahun mendampingi Fia berproses menjadi pribadi yang seperti sekarang, adalah sebuah perjalanan panjang yang luar biasa.
Hingga nanti tiba saatnya melepaskan Fia untuk kuliah dan mandiri di kota yang terpisah.
Dalam persiapan wisudanya kali ini, Fia berada di zonanya. Mengerjakan yearbook angkatan sendiri bersama dua tiga teman teamnya. Mengerjakan flower curtain yang dirangkainya sendiri dengan penuh perjuangan.
Mengerjakan yearbook kali ini, Fia mengatur desain sedemikian rupa, per halaman. Tembok kamarnya penuh dengan sketsa per halaman, time line pengerjaan. Kemudian dalam mendesain dia mengerjakannya dengan sepenuh hati.
Fia tetap berkonsultasi kepada saya dalam mengatur step pekerjaannya. Dia menanyakan langkah untuk melakukan finalisasi desain ke percetakan, kemudian mengatur kapan mesti mengirimkan barang hasil cetak ke rumah dan packing.
Saya hanya membantu beberapa hal seperti memastikan pengiriman plastik siap di hari itu, dan Fia melakukan sisanya, packing dan menyiapkan semua buku dalam dus untuk dibagikan di acara wisuda.
Cek last minute, "Sudah siap semua kak? Buku udah dikirim?"
"Syudaaah," jawabnya santai.
Baiklah.
Lalu ketika harus mengerjakan flower curtain, kami bersama-sama menghitung mundur hari pengerjaan dari kapan harus dipasang. Kebetulan saya juga mengerjakan flower curtain yang mirip untuk acara yang berbeda.
Kami berbelanja bunga bersama-sama, kemudian mulai merangkai di hari yang berbeda. Saya menawarkan Fia untuk menggunakan flower curtain saya, tetapi karena beda model dan bersamaan hari pemakaian saya dan pemasangan dia, maka saya menyerah memaksanya menggunakan flower curtain saya.
Sempat terjadi kehebohan saat isian lem tembak habis. Tanggal merah, tidak ada yang buka.
Bagaimana caranya mendapatkan isian lem tembak ini?
Mak pun gerilya, telpon dan whatsapp ke sana kemari. Alhamdulillah, berhasil menemukan segebok isian lem tembak di teman yang memiliki kegemaran hampir sama.
Akhirnya gojek pun bertindak, order mengambil isian lem tembak pun segera diluncurkan.
Alhamdulillah, semua berakhir dengan baik, dan berjalan lancar.
Happy graduation, my big girl.. Terbanglah lebih tinggi setelah ini. Kembangkan sayapmu lebih indah. Raih yang terbaik untukmu..
#hari3
#gamelevel2
#tantangan10hari
#melatihkemandirian
#kuliahbundasayang
@institut.ibu.profesional
Ketika seorang anak telah memasuki masa di mana ia dikatakan Akil Baligh, ada yang harus dicermati oleh orang tua.
Terkadang anak-anak ini, tidaklah dewasa sepenuhnya. Mungkin secara fisik dia sudah melampaui masa di mana dia sudah pada masa yang dikatakan sudah akil baligh, tetapi
secara jiwa belumlah mereka ini mampu dikatakan baligh.
Yang dimaksud belum baligh bagaimana?
Adalah ketika seorang anak belum mampu menyelesaikan kewajiban-kewajibannya sendiri dan menaklukkan tanggung jawabnya sebagai seorang individual.
Dan yang paling penting adalah ketika mereka belum matang secara emosi.
Salah satu referensi yang saya baca adalah tulisan kakak kelas saya yang cukup tenar, Moh. Fauzil Adhim, di sini.
Contohnya ketika Ica yang sudah aqil ini, masih saja belum bisa mengetahui kewajibannya untuk sholat tepat waktu. Masih harus diingatkan, dan sampai telat-telat waktunya karena dia dingatkan pun tidak segera berangkat.
Ketika bangun tidur dia turun dari kamarnya di lantai atas dan menuju ke sofa di ruang tengah. Langsung gedabrukan lagi selonjoran di situ.
"Dek," sapaku.
"Hm," jawabnya. Anak sekarang.
"Sudah sholat subuh?"
"Oiya belum," jawabnya.
"Agih cepetan, sudah telat ini." Kataku lagi.
"Iya," jawabnya singkat.
Lima menit berlalu tanpa ada tanda-tanda ia akan bangkit dari sofa.
"Dek," kataku lagi.
"Ya?"
"Sholat subuh," kataku singkat.
"Oiya," jawabnya. Akhirnya lalu duduk. Lalu mulet sebentar. Lalu berdiri. Eh malah ke dapur ambil mug. Bikin coklat panas.
"Dek." kataku singkat sekali lagi. Sudah hampir mendelik.
"Oh iyaa iyaa," katanya. Diletakkannya mug coklat panasnya.
Lalu Ica naik ke atas. Sepuluh menit kemudian Ica sudah turun lagi, setelah menunaikan sholat shubuh.
Baiklah. Semoga besok pagi tidak telat lagi ya, Dek.
Tidak boleh lengah mengawasi, mengingatkan. Itu kuncinya.
Tidak boleh bosan selalu mengingatkan.
And I will do.
#hari2
#gamelevel2
#tantangan10hari
#melatihkemandirian
#kuliahbundasayang
@institut.ibu.profesional
Satu hal yang susah-susah gampang ditaklukkan adalah membuat jadwal lengkap untuk keluarga. Lebih susah lagi mematuhinya..
Ketika anak-anak semakin besar kegiatan mereka akan semakin beragam. Setiap dari mereka bertanggung jawab untuk menyelesaikan kegiatannya masing-masing.
Kemudian menyusun agenda masing-masing untuk hari itu. Bahkan untuk seminggu ke depan.
Sering kali setiap hari, Fia dan Ica memberitahukan kepada saya, tanggal-tanggal mereka harus masuk dengan jadwal ajaib, atau tanggal pentas, atau tanggal untuk pergi.
Tanggal untuk mengerjakan sesuatu dengan teman-temannya.
Ditambah lagi Papa juga menyampaikan tanggal segini harus kesini, tanggal segini ngurus ini.
Wadaw. Belum lagi jadwal maknya, hari ini ngerjain ini, hari ini mengumpulkan ini. Hari ini baking, dan hari ini presentasi.
Sudahlah. Meletus kepala mak ini.
Maka, saya mengambil papan jadwal mingguan, dan satu papan blackboard yang tanpa garis, untuk dituliskan jadwal masing-masing.
Setiap orang harus menuliskan jadwalnya masing-masing dan kemudian mematuhinya.
Diberikan mana yang penting dan mana yang harus dibantu mama. Mana yang harus dibelikan atau mana yang harus disiapkan.
Lambat laun, pemakaian papan ini berkurang, karena anak-anak sudah tidak terlalu membutuhkan bantuan mak nya lagi untuk menyiapkan segala sesuatunya.
Frekuensi yang dulu harus tiap hari saya cek jadwal untuk tahu apa yang harus disiapkan, sekarang mungkin hanya seminggu sekali atau dua minggu sekali saya membantu apa yang harus mereka siapkan.
Selebihnya?
Mereka siapkan sendiri.
Lebih mudah lagi, kami menggunakan grup di Whatsapp.
Setiap orangnya menginfokan jam berapa harus pulang, harus dijemput. Berangkat lagi jam berapa, hari ini harus ke mana.
Beres dah.
Masing-masing anggota keluarga harus bertanggung jawab dengan jadwalnya masing-masing. Segala kelupaan atau kehilangan atau kesalahan atas jadwalnya yang disebabkan oleh kekhilafan pribadi adalah tanggung jawab masing-masing, resiko harus diterima.
Mak kejam jilid dua?
Hahaha, yang jelas, mereka sudah terlatih untuk memanage semua urusannya tanpa perlu panggil-panggil saya lagi.
Sekarang tugas saya agak geser sedikit. Jadi manager Fia dan Ica. Kalau perlu desain Fia, silahkan hubungi saya. Perlu jasa foto Ica, coba tanya ke saya.
Perfecto! :D
#hari10
#gamelevel2
#tantangan10hari
#melatihkemandirian
#kuliahbundasayang
@institut.ibu.profesional