Topeng-topeng dipasang ketika ada sebagian yang justru ditanggalkan.
Ada yang berpura-pura rindu pada lebaran, ada yang menangis sepenuh hati setelah kehilangan ramadan.
Di hari lebaran pun, berdatangan mereka yang telah lama tiada berjumpa, dari negeri yang jauh dan berjarak, atau sekedar dari ujung jalan yang sehari-harinya tak pernah dijumpai. Pada masa ini, lebaran berarti memenuhi semua grup di telepon genggam dengan ucapan selamat dan bermaaf-maafan: banjir maaf digital. Sekedar ada untuk membalas yang sudah mengucapkan, mengatasnamakan sungkan. Namun, sejujurnya lebih banyak yang berniat dengan sepenuh hatinya, membuat ucapan digital dengan foto keluarga, baju yang diseragamkan, senyum yang gembira terpasang di wajah, dan tentu saja ucapan panjang lebar tentang idulfitri.
Pulang ke kampung halaman yang sering disebut mudik, menjadi ritual yang harus dan harus dilakukan, demi menyenangkan hati orang tua atau kerabat. Namun, tiket-tiket pun telah dipesan—selepas pandemi ini pun—sehingga penuhlah semua tempat wisata dan pusat hiburan di seluruh penjuru negeri. Pergi bersama keluarga, meninggalkan rutinitas dalam sependek waktu, dan kembali ke rumah dengan penat dan setumpuk cucian kotor.
Pertemuan demi pertemuan dijadwalkan. Reuni dengan kerabat, sepupu, teman SD, SMP, dan SMA pun bergantian menghiasi hari-hari libur lebaran. Cerita-cerita tentang masa lalu bertebaran, ejekan dilayangkan, pukulan dan pelukan persahabatan diberikan, serta bisa jadi satu dua lirikan mata pada mantan gebetan di masa remaja yang kini sudah beranak dua dan berubah dimensi tiga kali lipat pun diterbitkan. Bila terlanjur, terkadang ada yang terbuai oleh masa lalu dan melanjutkannya ke hari-hari selepas lebaran: atas nama rasa yang dulu pernah ada.
Rumah-rumah yang riuh sebulan penuh oleh ritual sahur dan buka puasa pun berubah kosong ditinggalkan penghuninya. Seminggu, ya, minimal seminggu bisa kaubilang, lebaran itu berlangsung.
Setelah itu, jalanan akan padat kembali oleh mereka yang kembali pulang. Rumah-rumah akan penuh—atau sekaligus senyap lagi—tertelikung kesibukan yang berjalan kembali.
Setelah lebaran dan semua salam-salam serta pertemuan itu, lalu apa yang kaucari? Toples-toples kue kering yang kosong tersisa, meninggalkan hati yang kosong justru lebih dari sebelumnya. Para tetua keluarga yang terbiasa hidup sendiri pun menemui kembali hari-hari sepinya. Anak-anak yang selalu duduk menghadap laptopnya pun kembali menekuni—sekaligus mengacuhkan—dunia; dari dua sisi yang berbeda.
Degup-degup pun hilang. Tersisa kelelahan. Atau pundi-pundi yang kosong.
Lebaran tidak pernah sama, dari tahun ke tahun yang kita temui. Selalu ada pertemuan baru, selalu ada kehilangan baru. Ada yang baru saja muncul di dunia ini yang mengharuskan kita menjadi seorang nenek dari garis keluarga besar. Ada yang tak bisa lagi diajak berjabat erat.
Begitu pun kali ini. Lebaran tahun ini, adalah tentang kehilangan dan perjumpaan. Bagaimana ketika kehilangan itu membawa berbagai perjumpaan yang hampir tak mungkin dulu?
Lebaran ini adalah pertama tanpa ayahku tercinta. Lebaran kali ini, membungkus rasa kehilangan itu dalam diam. Lebaran kali ini, menyeret perjumpaan dari yang telah lama tak bersua.
Aku mengunci hatiku dalam-dalam kali ini.
Terkadang aku tergoda untuk bertanya: apakah Kau sedang membuat satu kesalahan, Tuhan?
2 comments
Sudah kubaca kak. Lebaran yang bisa ketemuan beneran, setelah dua lebaran ketemuannya di mayapada.
Aku sudah hampir 15 tahun gak lebaran dengan ayah. Rasanya... yaaaaa...ada yang kurang pastinya. Semoga ayahanda kita berdua, telah berbahagia di surga. Aamiin YRA...🙏🙏
Hai kaak, makasih sudah mampir ya. Iya, ada yang hilang. Walau berkelana ke sana kemari, ternyata di satu titik, ada hati yang tidak utuh. Makasih kakaaaks udah komeen muaach
Post a Comment