Usia Muda dan Menulis Cerita Pendek


Tiga minggu terakhir, aku dilibatkan dalam sebuah project Pelatihan Menulis Cerpen untuk siswa-siswi SMP di sudut Sidoarjo oleh Kak Wina Bojonegoro. Dengan titah yang agak mendadak, pada akhirnya aku menikmati proses pengajaran itu.

Sebagai murid SMP, beberapa dari mereka berhasil menulis dengan sangat bagus. Beberapa yang lainnya masih berusaha menemukan caranya, tetapi sungguh patut dihargai. Beberapa yang lain lagi seperti memiliki imajinasi tanpa batas; dengan hasil cerita yang sangat mengesankan. 


Menulis Itu Mudah atau Jadi Mudah

Tidak bisa dipungkiri, aku menemukan beberapa tulisan yang seakan dikemas dengan bantuan AI. Ketika kucoba untuk mengusutnya lewat detektor AI, beberapa hasil yang berbeda muncul. Dalam detektor AI yang berbahasa Indonesia, level bantuan bisa berkisar antara 20-50%. Bila dicoba menggunakan detektor AI dengan default bahasa Inggris, muncul angka di 70-90%. Aku pun menyimpulkan, hasil angka pun tak seberapa akurat. Aku memutuskan untuk langsung bertanya kepada mereka.

Dalam pelatihan yang berlangsung dalam tiga kali pertemuan, kali terakhir diputuskan untuk diisi dengan coaching clinic. Alias bicara mata ke mata, hati ke hati, jantung ke jantung, dengan masing-masing mereka. Kelas kami minta dibagi dua. Bu mentor, Wina Bojonegoro, memegang separuh kelas, dan aku sisanya.

Beberapa anak yang kutanya, mengaku dengan jujur bahwa mereka menggunakan bantuan AI untuk mencari kalimat yang tepat dan memilih diksi agar terdengar lebih puitis. Beberapa mengaku meletakkan hasil karya AI lebih dari 1 alinea ke dalam tulisannya. Beberapa lagi mengatakan sudah memparafrase kalimat dan kata-kata yang mereka dapatkan.

Aku menghargai kejujuran mereka. Pesanku, kalimat AI jangan dimasukkan begitu saja. Olah lagi, dan buat menjadi personal, seperti tulisan mereka sendiri. Cari poin-poin penting di AI saja, begitu kataku. Kutunjukkan pula beberapa istilah dan frasa, atau kalimat yang sangat khas AI, yang bisa kami deteksi dengan mudah tanpa perlu pergi ke detektor.

Menulis memang (jadi) mudah untuk mereka. Apalagi dengan bantuan teknologi seperti ini. Pada akhirnya, yang membedakan adalah banyaknya kesalahan yang terlihat dalam tulisan mereka. Semakin banyak kesalahan, aku semakin yakin itu adalah tulisan yang mereka buat sendiri. Bila tulisan atau cerita pendek itu sangat mulus dan sangat normatif, aku yakin seyakin-yakinnya bahwa Mbak Gemini atau Mas Chatogepete berperan besar dalam tulisan mereka. 

Mau bagaimana lagi? Teknologi hadir untuk memudahkan manusia, benar. Yang harus diperhatikan adalah bagaimana mengendalikan kemudahan itu. Untuk murid-murid seperti ini, yang terbaik adalah kontrol dari guru dan orang tua. Thus, para guru dan orang tua juga harus berteman dengan teknologi. Harus bisa berdiskusi dengan anak-anak untuk mengatur penggunakan AI dalam tulisan, memberikan edukasi sekaligus literasi digital yang intens. Dunia berlari, semua manusia harus sprint bersama-sama. Jangan mengaku gaptek atau tidak bisa. Itu tidak ada gunanya ketika informasi how to sudah bertebaran dengan masif di dunia digital. 

Aku memang paling sebal ketika ada yang mengaku gaptek. Minimal dicoba dulu, ketika kesulitan barulah menyerah di balik perisai bernama gaptek. Aku juga memahami tidak semua orang memiliki otot belajar teknologi yang sama denganku. Aku sendiri masih kalah jauh dengan anakku, adikku, keponakanku. Itu yang membuat aku selalu terpacu untuk terus belajar. Bahkan di rumah, aku dan suami selalu berdiskusi soal teknologi AI terbaru yang bisa dimanfaatkan untuk bisnis dan jasa kami berdua, atau sekadar eksplor bersama memahami kecanggihan aplikasi ini itu. Tetap saja, aku ngos-ngosan dan sering ketinggalan teknologi terbaru yang bergerak lebih cepat dari kecepatan cahaya.

 

Perjalanan yang Membentuk Cerita

Menulis pada akhirnya adalah jam terbang. Bakat berbeda-beda memang tersimpan dari dalam diri setiap orang, termasuk bakat menulis. Namun, bila tak dilatih, tak diasah, dan tak dipupuk agar terus menyubur dan menumbuh, pasti akan membusuk.

Melatih otot menulis sangat penting. Ide muncul bisa di mana saja, bisa dikembangkan dengan begitu rupa, tetapi bila hanya tertinggal di kepala, cerita itu tak akan menjadi sebuah karya. Apalagi dibaca dan dinikmati orang lain. 

Kadang yang tebersit adalah takut menulis cerita buruk. Padahal, para pakar berkata bahwa cerita buruk yang selesai adalah yang terbaik daripada cerita bagus yang terbengkalai. Jadilah, buruk atau bagus, setiap ide yang kemudian muncul harus segera dituliskan dan dikemas dalam satu tulisan. Persis bagaimana tulisan ini tercipta: aku sedang sibuk mereviu cerita para siswa itu dan muncul ide tentang mendokumentasikan prosesnya, dan voila.

Pada akhirnya, seorang penulis akan menuangkan apa yang didapatnya dari waktu yang telah dilaluinya. Perjalanan, pengalaman, dan penderitaan; yang semestinya dimiliki oleh setiap orang, akan membentuk tulisannya

Nah, para para penulis muda usia ini tentunya memiliki rentang pengalaman yang berbeda dengan penulis-penulis kawak (baca: lebih tua). Bukan berarti mereka tidak bisa menulis lebih bagus, bukan. Bukan pula berarti isi tulisan mereka tidak lebih berbobot dari yang kawak itu, bukan. Hanya saja, sudut pandang yang digunakan bisa jadi lebih sempit dari yang sudah berpengalaman dengan catatan jumlah usia lebih banyak. Sudut pandang dalam arti bagaimana mereka memandang masalah, bukan sudut pandang untuk penceritaan dalam menulis cerita pendek. 

Bisa jadi mereka yang lebih muda ini lebih sering menulis untuk memperkuat ototnya, sehingga tahu mesti memulai dari mana, membahas apa, dan bagaimana mengakhirinya.Mereka juga banyak membaca karya-karya penulis muda jenius yang kini bertebaran di jagad kepenulisan. Pastinya pandangan dan pola pikir mereka lebih relevan dengan zaman, dengan teknologi, serta dengan kehidupan di masa kini. 

Banyak penulis-penulis dewasa yang saya temui masih menulis dengan cara penceritaan yang sering dibilang Kak Wina Bojonegoro: koyo cah SMP.  Alias penceritaannya seperti anak-anak usia SMP. Bagaimana bisa demikian? Bisa jadi dari kualitas bahan bacaan, pola pikir dan cara mengatasi masalah, serta bagaimana cara mereka menyikapi kehidupan. 

Anak SMP sesungguhnya yang saya temui tiga minggu terakhir ini belum terkontaminasi oleh keras dan sinisnya kehidupan. Mereka justru menulis dengan lebih jernih, dengan bahasa yang lebih tertata (untuk mereka yang benar-benar suka menulis, ya), dan menyelesaikan masalah dalam cerita dengan lebih jujur. Bahkan yang tadi di atas dituduh menulis seperti bocah SMP justru menulis lebih buruk dari si para SMP.

Namun, sekali lagi, pengalaman dan jam terbang memang tidak bisa bohong. Kematangan penceritaan membuktikannya. Hanya saja, saya melihat banyak sekali bibit-bibit penulis muda yang cemerlang, semoga nantinya mereka akan benar-benar menjadi penulis. Hasil yang saya baca dari tulisan mereka yang masuk terasa begitu menjanjikan. 

Anak-anak ini masih fokus, melihat dunia dengan terang-benderang. Tanpa memikirkan uang belanja besok tinggal berapa, atau susu anak yang sudah mepet dasar kaleng, atau cicilan tagihan ini itu yang bikin pusing setiap bulannya. Ibu-ibu yang mengangkat dirinya menjadi penulis itu sebenarnya memiliki derita dan siksa yang lebih menarik untuk diangkat menjadi cerita pendek. Sayangnya, referensi bacaan mereka kadang berkutat di aplikasi digital yang kualitasnya entah bagaimana kebanyakan dari ceritanya selalu membuatku merasa blah.

Bukan menggeneralisasi, tidak semuanya begitu. But somehow, mayoritas yang saya temui seperti itu.


Berlatih Menjadi Ahli

Tidak, tidak harus semuanya menjadi ahli. Bila demikian, lalu siapa yang menjadi korban ketidakahlian? Bercanda, just kidding. Hanya saja, dalam ketidakbisaan atau ketidakahlian selalu ada jalan untuk menjadi bisa, dengan berlatih dan belajar.

Semangatku muncul kembali saat melihat para guru yang begitu antusias dengan tiga hari pelatihan tersebut. Selain anak-anak yang begitu bersemangat bertanya dan berani memacu dirinya lebih jauh, ibu dan bapak guru yang terlibat acara tersebut pun banyak bertanya.

Aku berpikir, jalan ninja untuk meningkatkan dan mencerdaskan kehidupan bangsa mungkin ada beragam. Paling tidak, salah satu jalan tikusnya sudah kujalani. Dan aku merasa bahagia di sana.[WE]

#windyeffendy #kelasmenulisceritapendek #winabojonegoro 


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

No comments