Bagi sebagian orang, dunia digital adalah dunia baru. Banyak hal-hal yang harus dipelajari, diterima, dan dimengerti. Dan itu terjadi seketika saat pandemi ada. Ternyata, kedigitalan itu terus berlanjut hingga detik ini.
Membaca buku Sapiens di Ujung Tanduk karya Iqbal Aji Daryono (IAD) membuat saya termangu. Di semua babnya, saya tercekat. Iya, semua benar. Iya, semua memang nyata. Iya, memang begitu. Saya setuju sepenuhnya.
Rasanya saya terlambat sekali membaca buku ini. Mas IAD menulis buku ini pada 2022, tepat setelah pandemi. Kumpulan tulisan IAD ini mengupas habis sisi-sisi unik—bila tidak bisa dibilang buruk—tentang dunia digital yang baru saja jatuh tiba-tiba di tengah bumi Indonesia. Bukan tiba-tiba sebenarnya. Hanya saja rasanya gelombang "pendigitalan manusia" begitu masif ketika pandemi datang. Dari anak-anak sampai emak bapak dan eyangti yangkung, semuanya berkenalan dengan "wajah online" dunia yang ternyata tidak seindah yang dibayangkan.
Katak-Katak Digital
Dalam pengantar yang ditulis oleh Damar Junianto, netijen Indonesia diistilahkan seperti katak dalam tempurung. Bener, memang bener banget. Yang tadinya "ndeso" tiba-tiba jadi "keren", dalam maksud: bisa internetan. Lalu semuanya tergagap-gagap menyesuaikan diri. memantaskan diri—yang sayangnya sampai saat ini masih saja tidak pas. Ada yang menyeret dirinya untuk bisa masuk dalam perputaran dunia digital yang serba instan dan cepat, ada yang terbanting-banting babak belur tapi tetap memaksa diri, ada yang bisa mengikuti pace dan berada di puncak roda tanpa masalah.
Hal kecil-kecil yang menjadi residu dari kehidupan digital inilah yang dicatat oleh IAD. Duh, berkali-kali saya ingin bilang, iya, semua bener! IAD menjelentrehkannya dengan begitu saksama, dari titik terdekat yaitu angkringan dekat rumah sampai ke ruang meeting virtual.
Dalam "Dari Angkringan ke Medsos", IAD menunjukkan hilangnya keakraban yang tadinya kental di angkringan. Semua itu beralih ke dunia tanpa batas di media sosial: Facebook, Instagram, pada masa itu. Makian dan pujian bertebaran tanpa filter. Permainan karakter muncul di mana-mana. Dilanjutkan dengan "Teman Medsos yang Bukan Teman", IAD menampilkan fakta bahwa kita bisa saja dituduh berteman dengan seseorang yang bermasalah—dengan informasi dari medsos. Atau sebaliknya, kita bisa mengaku-ngaku teman seseorang yang sedang naik daun di medsos, lalu kita ikut naik pula (beginian yang sering disebut pansos: panjat sosial).
IAD juga menceritakan saat akunnya di-banned oleh FB selama 3 hari, ia kelimpungan karena tidak bisa komen. Sebuah fenomena yang terjadi pada semua orang: kalau tidak komen tidak seru. Munculnya komen-komen jahat pada dasarnya juga didorong atau dipicu dari keinginan komen walau sedikit, menurut saya pribadi. Dari yang tidak berani komen awalnya, bisa bertransformasi menjadi manusia paling jahat di medsos. Atau komen-komen riuhnya adalah kamuflase dari betapa kecil dan kerdil jiwanya sebagai manusia nyata. Aslinya, mereka pendiam. Itu menurut pengamatan saya, sambil memahat kata "setuju" di tulisan IAD ini.
Menarik ketika membaca "B Aja, Tak Lagi Istimewa" yang membahas tentang fenomena singkat hype terhadap sesuatu yang berangsur ambyar seiring waktu. Keajaiban dunia digital mengantarkan berita-berita dari ujung dunia tadinya terasa wow, tetapi lambat laun terasa biasa saja. Dan benar seperti kata IAD, lama-lama bosan. Berita pembunuhan atau perselingkuhan artis jadinya terasa biasa saja. Yang menggugah baru yang benar-benar tragedi, seperti runtuhnya pesantren atau kasus Affan. Menggugah, dan menggerakkan.
IAD juga membahas perihal maraknya kelas-kelas virtual lewat "Mabuk Webinar". Di masa pandemi, memang semuanya yang harus daring membuat semua tersekap dalam kotak kaca dan layar ponsel demi menuntut ilmu. Awalnya seru, lama-lama memuakkan.
Bagi sebagian orang, situasi di depan layar tanpa perlu tatap muka adalah surga. Banyak hal yang bisa disembunyikan: atas rapi bawah celana pendek tanpa perlu kelihatan, tidak perlu mandi, selamat tinggal minyak wangi, hidup filter Zoom, dan sebagainya.
Saya pun pernah dengan santainya berteriak kepada anak sulung saya semasa pandemi. "Kak, mandi dulu!" tanpa tahu dia sedang kelas daring dalam Zoom dengan mikrofon menyala—di dalam kamarnya. Alhasil, dosen dan seluruh temannya menjawab: "Iya, Ma!"
Banyaknya aplikasi yang justru menguasai kehidupan juga dibahas oleh IAD. Bagaimana seseorang terpapar keinginan untuk memposting kegiatan berlarinya lewat Strava, atau menghamba pada kemudahan go-ini go-itu, bahkan fitur share loc dalam aplikasi WhatsApp pun dibahas habis olehnya. Ngakak, tapi lagi-lagi saya setuju.
Maraknya penulisan di media digital versus penulis yang berjibaku menulis buku, persoalan media yang gulung tikar karena banjir informasi datang dari media sosial, banyaknya bayaran para influencer dengan takarir entah versus penghasilan penulis yang menurun karena hilangnya toko buku dan sulitnya memasarkan buku, dibahas tuntas dengan gaya yang menarik oleh IAD. Saya lebih banyak tahan napas, memainkan marker dan menambahkan anotasi di buku ini. Muncul berbagai ide menarik untuk cerpen setelah membaca buku IAD ini (hihi, matur nuwun Mas IAD).
Maka, kalau memang tujuannya dapat duit empat puluh lima jeti hanya dengan menulis dua paragraf, ya jangan jadi penulis. Jadilah selegram saja. Pertanyaannya: memangnya bisa? Dikiranya kemampuan menulis yang ndakik-ndakik bisa menghasilkan follower belasan juta? Hahaha! ~Iqbal Aji Daryono, "Selebgram vs Penulis", Sapiens di Ujung Tanduk, hal. 136.
"Oligarki Youtuber" membuat saya memikirkan hal yang serupa dan relevan di saat ini: Oligarki Tiktokers. Perseteruan mana yang lebih menghasilkan sekarang: FB Pro, TikTok Afiliate, atau YouTube Short, atau alternatif lainnya, masih diperdebatkan saat ini. Dan untuk para pengejar cuan, semuanya dijabani dengan penuh harapan.
Apa Jadinya Bila Kini
IAD menulis buku ini di 2022. Apa jadinya bila ia menulis di tahun ini, atau tahun kemarin? Pasti akan ia akan membahas habis persoalan AI, persoalan munculnya para TikTokers yang meraja lela, viralisasi berlebihan di mana-mana hingga situasi politik yang semakin parah karena berita yang ditelan mentah-mentah oleh netijen, dan kebodohan-kebodohan lain yang terjadi semata hanya karena gagap digital.
Persoalan Pinkan Mambo dengan fenomena donat viral dan pisang gorengnya pasti juga akan menjadi bahasan menarik. Isu perceraian Raisa baru-baru ini pun, yang justru mendapat pemakluman luar biasa dari netijen, rasanya menarik pula untuk dibahas dalam urusan perputaran dunia digital. Keberpihakan netijen menjadi sangat benar terlepas dari si penyanyi cantik itu harus berpisah dari suaminya. Normalisasi hal-hal kecil yang dulu tabu, menjadi sangat biasa di saat ini.
Sebaliknya, informasi tentang kebaikan juga melesat pesat di masa ini. Jalur kesadaran untuk memilih berpihak pada Palestina sudah menjadi gerakan masif di media sosial, misalnya. Juga munculnya tokoh-tokoh influencer lokal yang memberikan alternatif jalan pemasaran untuk UMKM tanpa perlu harus membayar Raffi Ahmad.
Bagaimanapun, buku ini menjadi gerbang pembuka kesesatan pikiran yang mungkin tak tahu mengapa tiba-tiba dunia bisa jadi begini. Buku ini bisa menjadi pereda kekacauan isi otak yang carut marut karena informasi yang berjibun. Kebenaran informasi yang datang bagai air bah dari layar HP kita masih perlu disaring dan diluruskan. Tanpa pengingat, tanpa penyadar, tanpa penggetok kepala seperti buku ini, kita bakal tersungkur dalam banjir informasi yang tak bisa dibendung ini.
Ternyata Temannya Teman
Tersesat Selamanya Bersama-sama
Kini bukan persoalan apakah paham dengan dunia digital atau tidak. Kita mampukah berkembang dengan dunia digital ini?
Tumbang satu generasi, muncul generasi baru yang lahir dari lingkungan yang sudah terdigitalisasi. Mereka yang tahunya semua ada di Tiktok, dari tempat healing terindah sampai tutorial mengurus bayi. Generasi TikTok ini tumbuh dengan riang gembira dan memporakporandakan kedigdayaan Facebook dan Instagram. Saya yang sering mengajar perihal sosial media pun berlari kencang, tersandung, terjerembab, lalu bangkit lagi dan mengejar ketinggalan dan belajar urusan aplikasi anak muda sekarang ini.
Bahkan beberapa saat yang lalu, saya yang bersahabat karib dengan toko orens, melakukan perselingkuhan dengan membuat transaksi di TikTok. Ajaibnya, benda yang saya beli dengan harga sangat murah itu ternyata bagus! Bahaya, ini bahaya. Alert pun menyala. Tanda kesesatan mulai nampak.
Nah, apakah lalu kita akan tersesat selamanya di penjara digital ini? Selamanya? Bersama-sama? Mungkin iya, tapi setidaknya dengan sadar lebih awal kita bisa mengantisipasinya. Seperti kemarin, sehari penuh saya membaca buku (selain tetap mengerjakan pekerjaan di depan laptop). Rasanya seperti menemukan oase dengan air yang jernih. Memegang buku dan pena, mengasah otak, dan menikmati waktu tanpa dikejar-kejar, rasanya luar biasa.
Balancing, itu kuncinya. Tetap meninggikan norma, melestarikan budaya, itu pegangannya. Bila tidak, sudah bisa dipastikan, dari hari ini hingga ke masa depan nanti, dari anak-anak hingga kakek nenek, akan tersesat bersama-sama dengan kekal dalam dunia digital! [WE]
Judul Buku: Sapiens di Ujung Tanduk
Penulis: Iqbal Aji Daryono
Penyunting: Dhewiberta H.
Soft cover, 160 halaman
Cetakan kedua, Juli 2022
Penerbit: PT Bentang Pustaka




No comments
Post a Comment