Memangku tanpa Ragu, Sebuah Catatan Film

Sudah lama saya mendengar soal kopi pangku di Pantura. Melihat sendiri, tentu belum pernah. Gemerisik dari  film Pangku ini membuat saya tergerak.

Saya pun mengajak suami untuk nonton Pangku di bioskop pada hari kedua ditayangkan. Suami saya tak terlalu bersemangat pada awalnya. Saya pikir, saya tetap harus menonton, sendirian pun tak apa. Lalu pak suami teringat kegemaran saya menulis resensi film, akhirnya ia mengiyakan. Saya berkata bahwa saya juga membutuhkan sudut pandang laki-laki untuk film ini. Suami saya tahu, diskusi panjang setelah menonton akan saya butuhkan.


Begitulah, kami duduk di teater yang tak terlalu penuh. Tidak terlalu diminati? Atau karena terlalu banyak pilihan film lain yang sedang tayang dengan bersamaan? Film perdana Reza Rahadian sebagai sutradara ini harusnya layak dipertimbangkan untuk disaksikan.

Disclaimer: spoiler alert. Hati-hati, mau tak mau saya akan menceritakan beberapa adegan. Jangan emosi. Harus saya lakukan demi menjelaskan opini. Kembalilah ke sini jika sudah menonton dan bila tak mau terpapar spoiler.


Perjalanan Sartika Mencari Bahagia

Dan benar. Saya yang tadinya mulai menonton dengan was-was, akhirnya menjadi sangat menikmati setiap adegan artistik di dalamnya. Mengapa saya was-was? Saya takut tidak bisa menerima gempuran fakta kemiskinan yang (menurut saya saat itu) akan berjejalan dalam film ini. Nyatanya tidak, pendapat saya salah. Saya tak perlu mengkhawatirkan apa pun.

Film dibuka dengan wajah Sartika—yang dalam benak saya saat itu: terlalu gold, terlalu berkilat, terlalu mulus. Lalu dia minum.  Oh, kilau itu adalah keringat. Baiklah. Suasana malam yang panas, di atas truk tanpa AC, wajar. Namun, tetap bagi saya, Sartika ditampilkan terlalu mulus, cantik, priyayi, dan apalah itu namanya. 

Adegan menarik berikutnya ketika satu layar dipenuhi sisi samping truk tanpa ada tokoh, kecuali kaki-kaki yang berseliweran di sisi baliknya. Kaki siapa, penonton diminta merasakan—bukan menebak—sendiri. Scene mahal, menurut saya. Penuh simbol yang kuat. Penonton hanya diminta mendengar dialog, memahami situasi yang akhirnya menjadi katalis cerita, dan tidak perlu bersusah payah memahami wajah atau mimik muka aktor dan aktrisnya. Simbol dari pernyataan tegas Reza di film ini: jangan memperhatikan hal-hal yang tidak penting. Cari esensinya. Dan scene ini sangat-sangat menohok. Daebak!

Langkah Sartika (Claresta Taufan) yang hamil delapan bulan  setelah turun dari truk menuju ke satu lorong gelap dan berpapasan dengan penjual mi ayam menjadi transisi ke dunia lain yang akan ditemuinya. Termasuk persoalan mi ayam ini—nanti kita bahas di bawah, ya. Di area remang-remang yang penuh kedai karaoke dan warung kopi, Sartika akhirnya berjumpa Maya (Christine Hakim), yang mau menerimanya dengan begitu saja. 

Iya, begitu saja. Tanpa perlu bertanya lebih jauh, Maya hanya bertanya, "Mau ikut ibu?" That's it. Kebungkaman Sartika menjadi simbol bahwa banyak hal-hal yang sulit diutarakan dan tidak bisa dijawab seketika, demi pertanyaan: mau ke mana, tidur di mana. Sartika pun mengikuti Maya.

Mudah ditebak, Sartika pasti mau ikut kerja di warung kopi Maya. Apa pilihannya? Tidak ada. Kepergian Sartika dari ibu kota di tengah rusuhnya peristiwa 1998 adalah mencari yang tak ada, tak tahu harus ke mana. Maka, tawaran Maya adalah jawaban—pilihan terbaik untuk saat itu. Coba posisikan diri Anda seperti Sartika. Bagaimana, jawabannya adalah iya, bukan?

Film pun berlari kencang di beberapa bagian setelahnya. Bukan tanpa makna, tetapi penonton dimanjakan dengan montase adegan yang kuat, tanpa perlu banyak dialog. Misalnya saat Sartika melahirkan, hanya dengan paraji—di rumah sederhana Maya. Digambarkan suami Maya yang duduk di luar rumah, merokok, sementara terdengar suara dukun beranak dan Maya berteriak dari dalam rumah memotivasi Sartika saat melahirkan, diakhiri dengan tangisan bayi yang membahana. Kelahiran itu terjadi, begitu saja, dimaklumkan, dan terasa wajar. Maya dan suaminya menerima kehadiran Sartika—dan bayinya.

Kekurangan ASI Sartika, air tajin yang diberikan oleh Maya dan dinikmati oleh bayi Bayu, so real. Itu terjadi sewajarnya saja. Mengingatkan saya pada kuliah makan siang yang sering diadakan ayah saya di meja makan. Ayah saya bercerita bahwa di keluarga yang tinggal di desa pelosok, jauh dari kota kabupaten tempat kami tinggal, air tajin sering diberikan kepada bayi bila ASI ibu terasa kurang; seiring tidak mampunya keluarga membeli susu formula. Bahkan bayi sering dijejali pisang walau belum saatnya. Setelahnya, ayah saya selalu berkeluh kesah karena bayi-bayi yang sudah dalam kondisi "buruk"—karena tidak bisa BAB atau mendapat masalah dengan pencernaan karena pemberian hal-hal tadi—disodorkan begitu saja ke hadapannya dengan kucuran air mata para orang tua (baca: ibu dan neneknya). "Dok, tolong anak saya," kata mereka.

Gambaran itulah yang terlintas di pikiran saya saat melihat adegan pemberian air tajin itu. Namun, Bayu tumbuh sehat dan kuat di film itu. Sekali lagi saya seolah mendengar bisikan Reza: jangan perhatikan yang tak perlu. Fokus pada hidupmu, lakukan yang bisa.

Ketika Bayu beranjak besar dan harus dibawa ke ladang sembari Sartika bekerja pun ditampilkan dengan kuat. Suami Maya (Jose Risal Manua), yang tak berkata sepatah kata pun sepanjang film, turun mengayun-ayun selendang untuk membuat Bayu berhenti menangis. Sebuah penerimaan, persetujuan, dan penuangan kasih sayang yang nyata.

Titik balik Sartika pun digambarkan dengan ringkas—sekali lagi tanpa perlu dialog, gambar di layar sangat sarat cerita. Beras yang menipis, sementara ia dan anaknya menumpang, alhasil, keputusan harus diambil. Ia harus membantu di warung. Membantu, dalam arti yang seutuhnya, mengikuti cara tempat ia berpijak.

Perubahan Sartika dari perempuan "biasa" menjadi perempuan penjaga warung yang mau dipangku digambarkan dengan kuat tanpa perlu banyak dialog. Sorot mata Sartika, kemakluman yang muncul di mata Maya, air mata yang menetes mewakili banyak perasaan, proses pemilihan baju yang mengundang, adalah maklumat bahwa sejak saat itu dunia akan berubah. Miris, tapi itu pilihan. 


Menariknya, ketidakmampuan untuk menolak itu pun sirna seiring waktu. Tergambar dengan bahasa tubuh Sartika dalam melayani pelanggan warung kemudian, dan gambar beralih ke Bayu yang sudah beranjak besar, bahkan bisa memprotes kala ibunya tak segera menidurkannya. Sartika, yang sedang dipangku, harus memilih untuk mengurus anaknya terlebih dulu. 

Persoalan hadir lagi ketika Bayu harus memasuki usia sekolah. Kembali pada bagaimana cara ia lahir, maka surat-surat yang wajib dimiliki untuk menjadi seorang warga negara pun tak ada. Bayu tak punya hak untuk sekolah. Lebih dari itu, pertanyaan yang lebih besar datang. Nama bapak. Hanya nama bapak yang bisa diletakkan di ijazah. 

Hati dan pikiran saya bergejolak. Rangkaian adegan pendaftaran sekolah itu membawa saya ke beberapa pertanyaan. Kalau baru mau mendaftar, mengapa sudah sibuk memakaikan seragam? Kalau berangkat mendaftar, mengapa tidak cari informasi dulu apa yang harus disiapkan dan dilakukan? Sekolah tidak cuma urusan uang.

Namun, saya lebur kembali dalam satu realita: sudut pandang yang berbeda. Faktanya, masih banyak masyarakat kita yang berlaku serupa. Yang penting ada uang, berarti daftar sekolah sudah bisa—sementara di masa sekarang sudah tidak ada lagi SPP untuk sekolah negeri. Urusan dokumen-dokumen pastinya tak terpikirkan, apalagi untuk mereka yang sudah sibuk untuk bertahan hidup. Sayangnya, aturan tetap aturan.

Kehadiran Hadi (Fedi Nuril), ternyata menjadi jawaban atas beberapa hal sekaligus. Pendek kata, Bayu bisa sekolah, Sartika bisa bahagia. Persoalan apakah bahagia selamanya alias happily ever after seperti di dongeng Disney atau tidak, itu hal lain.


Semua Ada Alasannya

Saya selalu menanti beberapa menit setelah film usai untuk mengamati "starring section" alias credit title yang tayang di akhir. Ketika menemukan nama Felix K. Nesi di penulisan skenario, bareng bersama Reza, saya langsung paham. Pendekatan yang dilakukan bersama Felix yang tulisannya selalu keren itu, membuat film ini terasa hidup. Minim dialog, tetapi bukan berarti minim makna. Justru ruang untuk bereksplorasi melalui gambar terasa begitu luas. 

Pace yang lambat di awal film yang berdurasi 1 jam 57 menit ini kemudian menjadi cepat di tengah saat Bayu tumbuh besar, lalu kembali melambat di bagian konflik utama dan kembali melaju di akhir cerita, membuat film ini memiliki dinamika. Awalnya saya merasa sebal—lebih tepatnya: suami saya sudah merasa bosan—pada 15 menit pertama, rasanya banyak waktu yang dibuang dalam scene-scene awal seperti saat Sartika naik truk, turun, dan menemukan warung Maya. Namun, saya kemudian memahami, di situlah latar dikuatkan, alasan-alasan dilemparkan, dan pasak-pasak untuk menumbuhkan bibit konflik dikaitkan. 

Satu hal yang agak menganggu adalah kurangnya dialek daerah ngapak-ngapak di film ini. Ada Tini (Tj Ruth) yang hadir sebagai sang rentenir kampung sekaligus penjual jamu yang muncul di awal kisah, menghadirkan logat ngapak yang cukup menyegarkan. Lalu saya menemukan Asep (Muhammad Khan), yang dialek halusnya justru seakan dari Jawa Tengah. Padahal, jelas-jelas namanya Asep.

Mulai dari Sartika, Maya, Hadi, Bayu (Shakeel Fauzi)—apalagi Gilang (Devano Danendra), seakan dikirim dari ibukota dan "berkeliaran" di Eretan Kulon, Indramayu, dan sekitarnya. Baiklah, saya bisa menerima bahwa Sartika kabur dari ibu kota. Maya, walau tak dijelaskan dari mana ia berasal, bisa jadi juga berawal dari Jakarta. Namun, sudah selama itu di sana, tidak ada juga kesrempet sedikit logat daerahnya. Hadi, mungkin juga memutuskan kerja di daerah Indramayu. Gilang pun demikian. Sementara Bayu, paling tidak—seharusnya—ada sedikit kontaminasi dari logat daerah karena ia lahir dan besar di sana. Paling tidak, saya berharap ada dengung-dengung logat daerah yang mewarnai film.

Urusan lagu, saya menjura. Lagu kesukaan saya, Rayuan Perempuan Gila dari Nadine Hamizah, sudah sangat tepat ada di sana. Memang harus lagu itu. Memang tidak mudah ketika memutuskan untuk jatuh cinta pada seseorang, berlaku dua arah untuk Sartika dan Hadi. Dari dulu saya membayangkan film apa yang tepat untuk lagu unik ini, ternyata inilah jawabannya. Rumah untuk lagu Rayuan Perempuan Gila, indeed.

Sementara lagu Ibu dari Iwan Fals, membawa akhir cerita pada kekuatan dahsyat yang tak tertandingi. Cara Iwan bernyanyi adalah magis. Setiap kata dan nadanya membuat gambar di layar semakin bernyawa. Saya, sekali lagi, menjura untuk pilihan soundtrack yang sangat tepat.

Sebaliknya, saya justru merasa ada beberapa bagian yang tak perlu diisi musik. Misalnya, adegan kepergian Hadi yang diawali dengan pelukan erat dan pengantaran Sartika sampai ke depan rumah, bagi saya cukup diisi dengan hening. Deru mobil yang menjauh sudah sangat tepat untuk mewarnai keganjilan udara—yang rasanya membuat semua ujung-ujung syaraf berdering. Musik yang terlalu gempita rasanya seperti merusak momen "terakhir" sebelum bom dijatuhkan.

Lepas dari itu semua, semua potongan gambarnya terasa sangat artistik. Tidak gelap, tetapi menggambarkan dengan tepat makna kekelaman, kemiskinan, kekurangan dengan sangat wajar. Dalam media sosial film Pangku dijelaskan tentang set yang memang sangat real dan apa adanya. Ketakutan saya akan cecaran fakta kemiskinan tidak terbukti. Apa yang saya lihat di layar tetap membuat dada saya sesak, tapi saya tidak merasa takut. Suguhan kepapaan yang muncul terasa wajar disaksikan. Bahkan, bisa dinikmati. Saya ikut menikmati dengan kesantaian Maya, Sartika, dan Bayu dalam menjalani hidupnya.

Maya alias Christine Hakim: daebak! Tali kaos kutang yang melorot, wajah yang lelah, sorot mata yang tidak menghakimi, adalah dia. Christine Hakim, juara dari semua bintang. Iya, saya memang nge-fans. Saya yang datang ke bioskop tanpa mengintip-intip siapa pemain lengkapnya, hanya benar-benar terdorong oleh keinginan menonton film terbaru Reza sebagai sutradara, merasa super excited ketika melihat nama Christine Hakim di papan Now Showing. Film ini seketika terasa hangat. Christine Hakim juga memberikan pengantar khusus pada buku pertama Reza Rahadian, yang berjudul Mereka yang Pertama (belum sempat saya ulas, ha-ha). Maka, saya memahami hubungan spesial yang mereka miliki. Yes, it has to be her for Maya.


Boys Will be Boys

Lelaki tetaplah lelaki. Betul, ibu-ibu? Mungkin tidak tepat untuk menggeneralisasi lelaki di seluruh dunia, tetapi istilah boys will be boys tetap benar di mata saya. Nakal, dengan cara yang berbeda-beda, dengan khas lelaki.

Sosok para lelaki yang menjadi pelanggan warung kopi pangku ini menjadi simbol bahwa lelaki memiliki kebutuhan. Mereka yang jauh dari rumah, lalu mencari pelampiasan kebutuhannya, termasuk ke warung-warung kopi pangku di Pantura. Lalu apakah itu menjadi benar? Tidak juga. Namun, dalam film ini, keberadaan mereka menjadi sumber penghasilan untuk perempuan-perempuan yang membutuhkan uang demi meneruskan hidupnya. Alasan untuk bertahan hidup.

Demikianlah tokoh Hadi pun hadir. 


Fedi Nuril dengan pembawaannya yang khas, tetap menampilkan kharismanya lewat tatapan mata dan senyuman diamnya. Hadi hadir sebagai lelaki baik, suka memberi ikan pada Sartika dan Maya, tidak meminta Sartika duduk di pangkuannya. 

Saya pribadi jarang menonton film ber-Fedi Nuril, walau sebenarnya cukup suka dengan gaya mainnya. Selama ini, di bawah sadar saya, Fedi Nuril adalah Fahri di Ayat-Ayat Cinta, yang sungguh tega banget; tega banget menduakan istrinya. Sementara di film ini ....

"Aku mau punya anak. Kamu mau punya suami?" ~Hadi, film Pangku, 2025.

Ah, tidak deh. Terlalu banyak spoiler nanti. Intinya, saya puas melihat karakter yang dimainkannya di Pangku harus sengsara pada akhirnya. Merdeka!


Film yang Nikmat, Senikmat Mi Ayam

Demikianlah, saya puas dengan film ini. Reza telah mengemasnya dengan sangat baik. Gemas di beberapa bagian, tapi ya sudahlah, tak mengapa. Makna tersirat yang digambarkan Reza dalam film Pangku sudah sangat jelas: jangan fokus pada yang tak perlu, lanjutkan hidupmu.

Saya rasa, Reza membawa semua pelajaran yang didapatkannya dari pengalaman bermain film di banyak judul lalu menunjukkan kepada dunia bagaimana film terbaik seharusnya dibuat. Sebuah alternatif tontonan telah hadir—selain suguhan film horor Indonesia dan film komedi yang tak jelas.

Satu hal menarik lainnya, dalam film ini berseliweran pedagang mi ayam yang berkali-kali dinikmati oleh Sartika dan yang lain. Persoalan mi ayam menjadi topik penting yang terjadi setelah adegan "kedekatan" Sartika dan Hadi. Ternyata, ayah Sartika penjual mi ayam, sehingga Sartika bisa membuat yang lebih enak dari yang dimakannya. Latar belakang tokoh yang ditempatkan oleh Felix dan Reza dengan sangat manis. Menjadi relevan mengapa Sartika memandang lama ke arah sosok ayah dan anaknya yang sedang makan mi ayam di pinggir pantai, saat ia sedang kencan dengan Hadi. 

Janji Hadi, ia akan menjadi angel investor untuk Sartika demi berdagang mi ayam. Gerobak mi ayam pun hadir di antara mereka. Gerobak yang belum selesai ini menjadi simbol kekuatan tekad ketika Sartika harus membawanya pergi. Lebih jauh lagi, gerobak mi ayam ini menjadi simbol kasih sayang ketika suami Maya menyelesaikan hal yang belum tuntas untuk Sartika. Sekali lagi, tanpa kata-kata. Dan gerobak mi ayam pula  yang mengakhiri film ini dengan sangat menawan.

Fakta bahwa film ini telah mendapatkan 4 penghargaan di Busan International Film Festival (BIFF) pada September 2025 lalu membuat kita semua ikut bangga. Film dengan isu lokal ternyata mampu menarik perhatian di mancanegara. Tidak lupa, ada 7 nominasi yang didapat film Pangku pada Festival Film Indonesia 2025.

Film ini bisa dinikmati, tanpa takut terberangus fakta kemiskinan, tanpa perlu gerah melihat kemunafikan, dan tanpa harus berlindung di balik kepura-puraan. Tokoh-tokohnya hadir dengan jujur, menceritakan setiap kisah mereka dengan gamblang, serta meyakinkan penonton bahwa mereka ada dan masih ada. Terima kasih, Reza Rahadian, sudah membuat film ini untuk kami semua.

"Saya mau cari kerja, Buk. Apa aja." ~Sartika, film Pangku, 2025

"Kalau mau kerja di warung, cuma bikin kopi, duduk-duduk, gampang, kan?" ~Maya, film Pangku, 2025

Tidak perlu berpanjang-panjang karena sudah panjang, silakan saja segera ke bioskop. Bila harus menanti film ini tayang di OTT (Over-the-Top) platform seperti Netflix, rasanya masih lama. Mumpung masih segar, segera saja ambil tiket. 

Sudah siap untuk dipangku? [WE]


Gambar: courtesy of Gambar Gerak




No comments