Sejauh-jauhnya melangkah, selalu ada rumah untuk kembali. Selalu ada rindu pada akar, pada kekuatan budaya yang mendarah daging. Seperti kepingan kisah dalam Paune, yang menggiring rindu kepada Balige.
Paune, buku yang hadir dari Balige Writers Festival (BWF) 2024 silam. Paune berasal dari bahasa Batak, yang berarti membuat bagus, rapi, dan indah. Buku ini berisi esai, cerpen, dan puisi dari sembilan penulis Emerging Writers BWF 2024.
Disebutkan dalam pengantar Ita Siregar, Pendiri BWF 2024, buku ini menjadi sebuah catatan karya sastra masa kini, sekaligus jembatan memasuki masa depan perkembangan sastra yang lebih baik.
Karya Pembawa Pesan
Sebuah karya tulisan memang menjadi medium berbicara. Yang tertulis adalah refleksi perjuangan penulisnya hingga ke titik itu. Setiap penulis memiliki gairah dan napas yang berbeda-beda; yang juga tercermin kuat di setiap tulisan dalam Paune.
Ketika sebuah tulisan memiliki misi sebagai pembawa pesan; baik itu kebudayaan, politik, pendidikan, dan sebagainya, ada harapan besar untuk bisa mengambil maknanya. Sang pembawa pesan—para penulis—diharapkan mampu mengangkat sisi yang tajam dari setiap peristiwa.
Paune membawa misi besar sebagai jembatan budaya, akar, dan rasa yang harus terus bertumbuh untuk generasi muda saat ini; juga generasi mendatang. Paune ditulis oleh para penulis berbakat yang menunjukkan akar budaya Batak.
Tidak melulu bicara soal sastra Toba atau budaya Batak, tiga esai yang ditampilkan bicara tentang hal beragam. Ade Indah Hutasoit, misalnya, bicara soal iklim. Sebuah pembelaan untuk generasi muda yang tak ingin disalahkan atas kondisi iklim di masa kini yang semakin parah—toh, itu semua tidak terjadi tiba-tiba.
Bangkit Panjaitan, menjelaskan sebuah lokasi bernama Onan Raja di Balige, termasuk asal-usulnya. Tidak terlalu panjang, bahkan terasa kurang lengkap bila penulis yang lahir di Balige itu bermaksud mengenalkan satu lokasi unik yang harus diketahui orang luar daerah. Satu esai lain dari Setyaningsih membahas persoalan buku dalam “Ahli Waris Buku”. Tulisannya panjang, mengulas dari banyak sisi. Nyaris bagaikan kumpulan tulisan tentang buku yang disatukan. Meski begitu, ketiga esai ini menyuarakan rasa generasi masa kini yang lugas dan apa adanya.
Cerita-cerita Hady K. Harahap, alias Bang Harlen, menjadi pembuka mata akan budaya Batak yang kental. Tulisannya yang tajam—bila tak boleh disebut satire—membawa pembaca pada senyum tipis nan masam pada akhir cerita. Tetap saja nikmat dibaca ketika lompatan kata-kata bertalian dalam alegori dengan sentuhan humor, lengkap dengan istilah atau nama khas dari negeri Toba.
Mikhael Naibaho menuliskan cerita yang lebih ringan bobot budayanya, tetapi tetap menggigit. Terutama “Membaca Derap Langkah” yang menyinggung persoalan patriarki. Dikisahkan bagaimana perempuan bisa berdaya, bijak, sekaligus berpantang menyerah dalam hidup.
Perjalanan terdalam adalah ketika membaca puisi yang ditulis Rozi Erdus. Selain sudah malang melintang dalam dunia kepenulisan, puisi Rozi begitu lekat pada budaya Sumatra. Disajikan kreatif dengan pilihan kata yang elok, lincah, dan mengundang rasa ingin tahu lebih jauh tentang Tanah Batak. Puisi-puisi Rozi seolah menari.
Nurenci Ananda Pasaribu membuat delapan puisi yang menyuarakan perasaan dengan halus. Sementara Sri Rizki Hardianti telah menulis sepuluh puisi yang penuh dengan pilihan kata menarik. Tak kalah memikat, Joni Hendri menulis lima belas puisi yang lebih klasik dan naratif. Semuanya memesona dengan cara masing-masing.
| Danau Toba dalam bingkai pagi | 
Tanah Batak yang Mashyur
Karya-karya seniman muda di masa kini—bila bicara karya seni dan film—semakin kental dengan napas budaya lokal Indonesia yang sangat beragam. Sudah semestinya, sudah waktunya hal itu dilakukan.
Film yang membawa kuat akar Batak seperti Ngeri-Ngeri Sedap yang disutradarai Bene Dion Rajagukguk pada 2022, mengangkat perihal anak rantau yang enggan pulang. Film memikat yang disajikan langsung dari tepi Toba.
Yang masih segar juga film Catatan Harian Menantu Sinting, menyoal bahwa lelaki Batak yang sudah menikah diharapkan segera memberi cucu laki-laki. Isu yang disampaikan berbalut humor ringan. Diangkat dari novel Rosi L. Simamora dengan judul sama, membuktikan bahwa karya sastra atau tulisan mampu berbicara dan menyentuh zona penikmat baru ketika mengubah media penyampaiannya; seperti melalui film.
Budaya tanah Batak yang termasyhur, tak dipungkiri lagi, telah memiliki daya pikat tersendiri. Film menyajikan keindahan visual dan suara, lebih mudah menyentuh sasarannya. Sementara karya tulisan seperti cerpen, novel, puisi, dan esai yang memangku persoalan budaya, membutuhkan waktu dan ritme yang lebih lambat untuk bisa dicerna oleh generasi masa kini.
Setiap pesan budaya harus bisa beralkuturasi dan berubah bentuk penyampaian budaya agar tak terkesan kaku dan terlalu literal. Implementasi budaya haruslah fleksibel dan mengikut zaman. Kembali pada alasan diadakannya BWF hingga 2024, pesan dan akar budaya Batak tentu dapat disampaikan melalui rangkaian acara yang berlangsung. Pada akhirnya, buku yang dihasilkan bisa menjadi terompet pesan untuk mereka yang tidak hadir atau tidak sempat tersentuh berita akan adanya BWF.
Tidak melulu seniman atau penulis dari kawasan Sumatra yang diundang. Penulis dari Jawa pun ada yang terpilih. Tentu saja, mereka dapat meneruskan berita tentang kawasan Toba dan Balige yang begitu kaya dan indah ke penjuru Indonesia—dan dunia. Mereka akan menjadi juru pesan yang diharapkan dapat turut memajukan pariwisata Balige dan kawasan Toba.
Berlari Bersama Zaman
Di masa ini, setiap orang bagaikan berlomba dengan lawan kasat mata. Bertarung dengan teknologi dan kecepatan informasi yang mendesak tanpa aba-aba. Meski begitu, kearifan lokal dan kekuatan nilai budaya tidak seharusnya tergerus. Harus ikut berlari, menunggangi kecepatan teknologi, menyesuaikan dengan percepatan dunia untuk bisa tetap ada.
Pendekatan untuk memasukkan nilai budaya dan kearifan lokal ke generasi saat ini memang seharusnya menggunakan tren teknologi. Kemampuan beradaptasi dengan kecanggihan teknologi menjadi penting. Menceritakan kearifan lokal pun perlu melakukan banyak hal, misalnya memilih sudut pandang penceritaan yang unik, menggunakan teknik penceritaan yang lebih modern seperti baca nyaring atau podcast, mengalihmediakan buku cetak menjadi digital.
Tetap saja, penulisan harus terus membawa pesan budaya yang kuat. Ide nilai lokal yang diambil pun menjadi penting. Memasukkan isu teknologi pun bisa menjadi pilihan untuk menarik perhatian anak muda masa kini.
Pertanyaannya, apakah yang diangkat dalam karya-karya itu sudah bisa dijadikan tolok ukur pesan budaya, atau hanyalah mengangkat kisah fiksi atau masalah beralaskan tradisi semata? Paparan kebudayaan sudah semestinya disampaikan dengan benar agar generasi terkini mampu memahami pesan secara utuh.
| Menikmati pagi di tepi Toba dari Pantai Janji Maria | 
Dari Paune, nilai lokal Batak telah ditampilkan dengan kuat dalam sebagian besar karya—walau tidak semuanya. Berlabel hasil karya atas sebuah festival, Paune hadir sebagai prasasti karya dari penulis-penulis di dalamnya. [WE]
Tulisan ini telah membawa saya ke Balige, Sumatra Utara, dalam Balige Writers Festival 2025. Nantikan kisah selanjutnya, ya.
~wind
#windyeffendy #paune #baligewritersfestival #bataktoba #danautoba #penulisperempuan #resensibuku #balige

 

.png) 
 
 
 
No comments
Post a Comment