Ibu Juga Boleh Tumbang, Kok

Ibu juga seorang manusia biasa. Bisa tumbang, bisa lelah. Bisa menyerah, bisa terluka. Bahkan, bisa saja menghilang. Semua ibu, di dunia ini, mungkin bila boleh berujar, ingin istirahat sejenak.



Siapa pun yang pernah jadi ibu, atau sedang jadi ibu, pasti tahu rasanya ketika hati ingin menjerit karena kelelahan, tetapi anak-anak dan rumah masih harus diurus. Ingin rasanya kabur sejauh mungkin dan melupakan semuanya sejenak. Sehari saja, tanpa diributi urusan baju yang belum dicuci, mau masak apa hari ini, rumah yang rasanya tak pernah rapi, dan setumpuk piring kotor yang harus dimandikan. Dan persoalan-persoalan lainnya. Iya atau iya?

Ketika awal menikah, dunia masih milik berdua. Ketika si kecil mulai hadir, ibu muda mulai gelisah. Ternyata, si kecil ini tidak ke mana-mana. Dia tetap di sini, dan harus diurus, dan harus disayangi, dan ibu tidak bisa lari ke mana pun. 

Ketika ibu kelelahan, dan jatuh sakit, bapak yang pontang-panting mengurus anak. Bapak jadi tidak ke kantor, menunggui ibu yang sakit—sekaligus mengurus si bocil. Sebisanya bapak akan mencari orang yang bisa dititipi anaknya, sementara bapak akan fokus mengurus ibu. Benar begitu?

Cerita yang umum terjadi. Aku pun tak lepas dari deretan kelelahan dan sakit. Kadang tak terasa karena sibuk mengurus rumah dan anak-anak, tetapi begitu memuncak, langsung tumbang.

Salah satu ceritaku saat tumbang yang paling menyedihkan—sekaligus menyakitkan, ketika aku didiagnosa menderita skoliosis. Kemiringan pada tulang belakang sekian derajat ke kiri, membuatku kesakitan di kaki kanan. Awalnya aku yang sedang antre di sebuah bank merasakan sakit yang luar biasa di kaki kananku, di sekitar mata kaki lebih tepatnya. Aku ingin duduk, tetapi tentu saja tidak bisa karena antreanku pasti diserobot orang. Aku mencoba bertahan.

Meski kemudian urusan di bank berhasil kuselesaikan dengan menahan sakit, nyeri itu tidak berhenti di sana. Ketika nyaris tak tertahankan, aku terpaksa bilang dan meminta suami mengantarku ke dokter. Setelah terlihat kemiringan tulang belakang itu, dunia berubah. Aku harus menjalani terapi, menggunakan korset fiber, menenggak obat anti nyeri dosis tinggi, mengurangi aktivitas berat, dan sebagainya. 

Sementara anak-anak masih harus diantar jemput, harus disiapin makanan dan bekalnya setiap hari, rumah harus dibereskan, dan sebagainya. Aku mulai kuatir. Pada akhirnya, suamiku yang berkorban untuk mengatur antar jemput anak-anak. Urusan rumah, kupasrahkan pada asisten part time yang datang setiap hari.

Sebenarnya, ketika sakit aku justru bisa beristirahat dari keriuhan rumah. Namun, tentu saja aku tidak ingin jatuh sakit demi sekadar menjeda kesibukan rumah tangga. Hanya saja, siapa pun pasti mengakui, beristirahat adalah bagian dari kebutuhan. Ketika sakit, itu waktunya tubuh beristirahat total.


Yang paling lucu, kucingku selalu menungguiku bila aku tumbang dan hanya berbaring di kasur. Dia dengan setia menantiku mengelusnya, atau sekadar tidur di dekat kakiku, datang bila kupanggil. Yang jelas dia membuatku bahagia.

Apa kabar anak-anak ketika mamak sakit? Mereka sangat baik, membantu ayahnya dan tidak rewel. Boleh kok, mamak sekali-sekali sakit, sekaligus membuat anak-anak menjadi lebih mandiri.

Ketika pandemi, aku tumbang berdua dengan suami. Mau tak mau anak-anak yang mengurusi kami. Walau kami mencoba untuk tidak merepotkan mereka, tetapi dua gadisku itu dengan baik hatinya merawat kami berdua. Sekadar mengambilkan makan dan minum, dan mengurus keperluan mereka sendiri, itu sudah sangat membantu. Mereka duduk di usia SMA dan kuliah ketika aku dan suami tepar kena setruman Covid.

Jangankan penyakit yang berat-berat, kadang mamak juga harus tumbang karena urusan tamu bulanan. Hari pertama atau hari kedua, terkadang aku terkapar karena sakit pinggang yang luar biasa plus sakit perut yang melilit plus keluarnya tamu bulanan dengan deras. Bila tiba harus menyerah di saat seperti itu, aku auto izin pada suami: aku tidak bisa membantu urusan rumah hari ini. Biasanya suamiku sudah paham. Sebuah break singkat dalam sebulan. Sebisanya tidak harus pakai tumbang ketika datang tamu bulanan, tetapi ketika memang menyerang, aku selalu menyerah.

Komunikasi itu penting, kepercayaan pun penting. Tidak lucu ketika ibu sakit dan menitipkan urusan anak kepada suami atau orang lain, tetapi masih saja cerewet dan justru merepotkan mereka yang dititipi. Harus cek bekallah, urusan PR lah, urusan tugas-tugas, bahkan memberikan wejangan-wejangan tidak penting kepada anak dan yang dititipi. Sudahlah, istirahat saja. Percayakan anakmu kepada yang lain—suami, minimal. 

Keriuhan, panik, rasa tidak percaya, bingung, semuanya hanya ada di dalam kepala kita. Saat ibu tenang menghadapi semua persoalan, yang menghadapi pun ikut tenang. 

#windyeffendy #ibutumbang #sakit







Share:

0 Comentarios