Matanya kurang lurus. Yang satu terlalu ke bawah, sedangkan satunya tampak melenceng ke atas. Benta mengambil pinset, menyentuh satu garis mata kiri dengan perlahan, dan meletakkannya lebih tinggi dua milimeter dari tempatnya semula.
Ah. Sekarang garis mata kanannya tampak terlalu ke bawah. Benta menyentuhkan ujung besi dingin pinset itu ke garis mata kanan, mengarahkan satu ujung garisnya sedikit ke bawah. Nah. Wajah itu semakin ajaib.
Benta meletakkan pinset itu di meja yang penuh dengan lembaran nori, serpihan telur gulung, remahan nasi yang berceceran, sendok, garpu, serta plastik yang bertebaran di sana sini. Jantungnya berdegup kencang saat melirik jarum jam dinding. Sebentar lagi pukul tujuh, dan bento untuk Bita belum juga siap.
"Mama, mana tempat pensil Bita?" Tiba-tiba, suara gadis kecil itu terdengar begitu nyaring. Duh, masih saja ada barang-barangnya yang terseliip.
"Di dekat tas Bita, di meja belajar. Coba cari!" teriak Benta tanpa beranjak dari dapur.
"Hush! Berisik! Jangan teriak-teriak. Masih pagi!" Aldo melintas di sampingnya sambil menyerukan kalimat itu dalam volume lirih. "Sana, bantu Bita cari tempat pensilnya." Suaminya lalu duduk sambil mengambil satu roti bakar di meja makan.
"Aku belum selesai membuat bento untuk bekal Bita," jawab Benta. Mengapa bukan Aldo saja yang membantu Bita, batinnya. Aldo juga pasti tahu kesibukannya sepagi ini.
"Selalu saja barang berceceran di mana-mana. Ajari anakmu itu menyimpan dengan benar. Kamu harus kasih contoh." Aldo menjawabnya tanpa beranjak sedikit pun, bahkan sambil sibuk menatap gawai di tangannya.
Darah Benta menggelegak. Setiap pagi selalu begini. Di mata Benta, semua sudah ditata rapi di tempatnya masing-masing. Benta tidak pernah memahami Aldo yang tak henti-hentinya meminta dia membereskan rumah. Bagi Benta, semuanya sudah rapi.
"Aku sudah ajari dia! Aku juga sudah menata rumah! Seperti apa yang kamu minta lagi?"
Tangan Aldo terhenti di udara. Matanya menatap Benta yang berdiri tepat segaris lurus di hadapannya, di balik meja dapur tempat Benta membuat bento.
Benta menelan ludah. Tatapan Aldo yang menusuk seakan menembus tubuhnya, mencairkan isi otaknya, dan membuat tulang-tulangnya melunak. Rasanya Benta ingin masuk ke dalam lemari dapur untuk menyembunyikan dirinya dari semua tuntutan Aldo dan kewajiban diri bersibuk ria setiap pagi. Aldo tak pernah memujinya dan hanya menghamburkan kata-kata pedas nyaris setiap hari.
"Mama!" teriak Bita lagi.
Aldo berdiri. Benta lekas-lekas meletakkan cetakan nori yang dipegangnya dan berlari ke kamar Bita di dekat ruang tamu. Langkah Aldo yang diterabasnya berhenti seketika. Bita tak menoleh sedikit pun. Baginya, Aldo tak nampak.
"Ada apa, Bita?" tanya Benta sambil melangkah masuk ke kamar anak semata wayangnya itu.
"Tolong ikatkan kerudung Bita," jawab Bita sambil mengerjapkan kelopak matanya yang dihiasi bulu ikal yang menggemaskan.
Benta menghela napas. Gadis kecilnya ini memang usil bukan kepalang. Bisa saja Bita datang ke dapur, bukannya berteriak seperti ini.
"Cepat, Ma! Sudah mau terlambat! Bento Bita sudah, kan?" Bita kini membelalakkan matanya sejenak sebelum membalikkan badan, memposisikan tali kerudungnya menjadi di depan Benta.
Lekas-lekas Benta mengaitkan dua tali yang terurai di hadapannya menjadi satu pita cantik yang menghiasi bagian kerudung Bita. Dalam kepalanya, berlarian bayangan satu kepal nasi dengan potongan nori yang tak sama arahnya, tumpukan telur dadar gulung yang berserakan tak beraturan, sosis gurita yang belum diberi mata dan ditata bagian bawahnya agar menyerupai tangan terkembang, dan anggur yang belum dicuci dan dimasukkan ke dalam bagian lain kotak untuk melengkapi jargon makanan sehat yang didengung-dengungkan dari sekolah.
Selesai mengatur pita kecil yang diributkan Bita sedari tadi, Benta berbalik untuk bisa segera menyelesaikan kotak bento untuk gadis kecilnya ini. Namun, ternyata tidak semudah itu.
"Ma, bantu Bita beresin kotak pensil dulu! Tadi isinya berantakan," kata Bita sambil menunjukkan bagian dalam tasnya yang penuh dengan pensil dan pena yang saling menumpuk di antara buku-buku pelajaran Bita hari ini.
"Nggak mau! Pokoknya Mama yang beresin!" Teriakan Bita begitu kencangnya hingga Benta merasa gendang telinganya bergetar kuat.
"Nanti terlambat kalau bentonya belum selesai!"
"Gak mau! Ini dulu!"
Gadis kecil enam tahun ini sungguh keras kepala. Ada masa-masa Benta ingin menjitak anak kecil yang kadang-kadang susah diberi tahu.
"Bita ...," kata Benta perlahan. Nada suaranya bergetar demi menahan diri untuk tidak membentak. "Ayo, kita bereskan sama-sama."
Bita melunak. Gadis kecil itu mulai mau membereskan isi tasnya yang berantakan.
Dengan sedikit tergesa, Benta memasukkan pensil yang dipegangnya cepat-cepat ke tempat pensil Bita yang kosong.
"Nah, ini Bita beresin, Mama ke dapur sebentar, ya."
Benta menarik napas lega ketika Bita mengangguk. Dengan kecepatan bagai kilat, Benta kembali ke dapur.
Sesampainya di dapur, Benta tertegun. Kotak bento untuk Bita sudah tertutup rapi. Meja dapur yang tadinya bagaikan pasar tumpah, kini sudah rapi. Aldo sudah tidak tampak. Suaminya berangkat tanpa berpamitan.
Perlahan, Benta mendekati kotak itu. Dibukanya pelan.
Si nasi kepal sudah memiliki mata dari potongan nori, terpotong dan tertata sempurna di permukaannya. Telur gulung sudah diatur dengan cantik di bagian lain. Beberapa butir anggur bulat sudah siap di ujung kotak. Para gurita sosis sudah berdansa bersama di tepi lainnya, dengan tangan mekar sempurna, serta memiliki dua titik mata dari nori yang mungil.
Sebuah kertas terselip di bawah kotak bento. Benta mengambilnya dengan napas tertahan.
Sudah kuselesaikan. Antar anakmu, jangan terlambat.
Rupanya, Aldo mengambil alih tugasnya. Sedikit rasa kesal terbit di hatinya. Ini tugasnya, bukan Aldo. Tadi dia ingin Aldo menghampiri Bita, bukan justru mengambil alih tugasnya menangani bento.
Bita muncul dari kamarnya. "Sudah, Ma?"
Benta tersentak. "Sudah, ayo berangkat." Diambilnya kotak bento Bita lalu dimasukkannya ke dalam tas Bita yang mungil.
Selama perjalanan mengantar Bita, Benta terus saja memikirkan sikap Aldo. Apakah Aldo ingin membuktikan dia lebih bisa? Apakah Aldo ingin menunjukkan bahwa dia pahlawan? Apakah Aldo ingin menunjukkan bahwa Benta tidak becus?
Benta tahu, dirinya masih harus banyak belajar mengatur rumah dan anaknya. Usia perkawinan mereka baru tujuh tahun. Selama itu Benta sibuk mengurus Bita dan rumah sementara Aldo bekerja keras demi mereka. Namun, Benta masih berkumpul dengan teman-temannya secara berkala, mengerjakan proyek ini itu demi kewarasan otaknya. Aldo selalu marah-marah dan mengatakan dirinya terlalu banyak berkumpul dengan teman-temannya dan mengabaikan urusan rumah.
Bagi Benta, urusan rumah sudah beres, baru dia keluar rumah. Lagi pula dia keluar rumah di antara jam menanti Bita pulang sekolah. Aldo yang terlalu tinggi standarnya, terlalu sempurna permintaannya. Benta terkadang kesal saat harus memenuhi kemauan Aldo yang ingin rumahnya rapi tanpa noda seperti di buku-buku desain interior.
Dalam perjalanan pulang, sebuah pesan masuk ke telepon genggamnya.
"Kamu harus fokus. Jangan terlalu ingin tampak sempurna, tapi tidak bisa mengatur waktu. Anakmu itu yang penting ada bekalnya, tidak perlu aneh-aneh. Kalau mau bikin yang sempurna, bangun lebih pagi! Siapkan malam hari! Kalau tidak, jangan memaksa diri."
Pesan dari Aldo itu membuatnya menghentikan mobil di tepi jalan yang sepi. Ternyata, bagi Aldo dia terlihat memaksa diri. Benta menghela napas. Mau tak mau, Benta harus mengakui bahwa akhir-akhir ini dirinya kewalahan mengatur waktu. Proyek masuk begitu banyak, Bita sudah semakin cerewet, sementara rumah juga sering tak terurus.
Menguatkan tekad, Benta membalas pesan Aldo.
"Maafkan aku, ya. Beri aku kesempatan mengubah diri."
Tiga puluh menit kemudian, pesan itu berbalas. "Belajar atur waktumu."
Benta menghela napas sekali lagi. Baiklah, kali ini dia akan berusaha lebih keras. Bita, bentomu esok pagi akan lebih cantik dari hari ini!
#windyeffendy #cerpen #bento
1 comment
Keren idenya nih Mbak. Bento tampil dalam cerita fiksi.
Post a Comment