The Story of My Cakes—Episode 8: About Time

Ini masih cerita tentang pelanggan yang satu itu. Si ibu sanah helwah. Masih banyak cerita tentang kue-kue yang kubuat untuknya, dengan berbagai dramanya. Namun, satu hal yang selalu menarik tentang pelanggan yang satu ini adalah drama pengambilan kue-kuenya. 



Selalu saja ada cerita lucu dari setiap pesanannya. Pada setiap kali pengambilan, aku selalu minta nomor telepon orang yang datang. Belum tentu sama, dan kadang-kadang pun susah dihubungi. Intinya aku meminta agar mengabari sudah di mana posisinya. Kebetulan, si ibu ini tinggal di pulau garam, sehingga waktu pengambilan dan janjian pertemuan harus diatur setepat mungkin. 


Pernah suatu ketika,  dia harus membawa kue-kueku ke kota Malang. Aku yang kala itu masih tinggal di Sidoarjo, membuat janji untuk bertemu dengan anak buahnya di Masjid Agung Surabaya. Pada waktu yang sudah dijanjikan, kami sama-sama sudah tiba di Masjid Agung. Lucunya, kami tidak segera berjumpa. Susah sekali berkomunikasi sekadar mengabarkan: saya di pintu ini. Akhirnya saya berputar-putar memastikan di mana si bapak berada. Setelah dua kali putaran, barulah aku melihat seorang lelaki bersarung bertelepon mondar-mandir di depan salah satu gerbang. Aku pun merapat dan benar, dialah yang menanti kue-kue ini.


Di satu pemesanan yang lain, ibu ini memesan kurang lebih dua puluh lima kotak bluder yang kira-kira berdiameter 25x20x15 sentimeter, berisi 6 buah bluder. Posisi dapurku kala itu di Surabaya Timur, sehingga dia beranggapan pengambilan lebih dekat. Ketika waktu yang dijanjikan tiba untuk pengambilan, aku sempat menanti beberapa lama. Beberapa kali kutelepon, tidak ada jawaban. 


Ketika timku mengabarkan bahwa yang mengambil kue sudah datang, aku pun segera menyiapkan kotak-kotak itu untuk diangkut. Ternyata, yang datang adalah seorang bapak dan ibu: naik motor! Aku melongo. Tak bisa kubayangkan bagaimana dua puluh lima kotak bluder ini akan mereka bawa baik motor. Meskipun sudah kuletakkan dalam kantung-kantung plastik, tetap saja aku ngeri membayangkan perjalanan yang sebegitu jauhnya dengan bawaan sebegitu banyaknya!


Aku tak sanggup memikirkannya. Aku naik ke ruang produksi dan kubilang pada anak-anak. “Kalian aturlah. Aku tidak mau lihat bagaimana mereka membawanya.”

. Ketika kembali dari serah terima pesanan, mereka bercerita bahwa semuanya terangkut! Ada yang di depan, ada yang dipangku, ada yang— “Stop! Aku tidak mau dengar!” seruku sambil menutup telinga rapat-rapat. Anak-anak pun tertawa.  Yang jelas, satu jam kemudian aku mendapat konfirmasi dari sang pelanggan bahwa kue sudah mendarat dengan selamat. Alhamdulillah!


Lain kesempatan, dia memesan tiga kue tart dan beberapa kue-kue kecil serta beberapa dus rahang tuna bakar. Aku sudah menyiapkan semua pesananya di ruang depan. Kukira dia akan mengirim mobil SUV sejuta umat seperti biasanya, bahkan tidak jarang yang dikirimkan mobil berkapasitas 14 seat yang ketika sampai rumahku pun sudah penuh dengan barang-barang. Ternyata, yang datang adalah sebuah mobil kecil untuk 4 penumpang, dengan dua orang duduk di depan. Astaga, aku pun meminta dikosongkan bagasinya untuk meletakkan semua kue tart dan sisanya di tempat duduk penumpang. Aku berdoa semoga kue-kue itu baik-baik saja tiba di tempat tujuan.


Beberapa minggu kemudian, dia memesan lagi beberapa ratus brownies potong dengan ukuran yang sudah kuinformasikan sebelumnya. Total ketika dimasukkan ke dalam kardus besar hanya beberapa kardus saja. Ketika mobil jemputan kuenya datang, aku melongo, lagi. Mereka datang menggunakan mobil pick up besar yang biasa digunakan untuk pindahan! 


Aku bertanya sambil keheranan, mengapa mengirim mobil sebesar ini? Jawab si kurir sambil tertawa, kata Ibu takut mobilnya kekecilan kaya kemarin. Katanya browniesnya ratusan. Aku tertawa terbahak-bahak. Kubilang, iya ratusan tapi tidak sebesar itu. Si mas pun kemudian ikut tertawa miris melihat kardus-kardus yang berisi brownies itu. Akhirnya, para kardus itu pun teronggok di pojokan pick up yang kosong melompong.


Yang paling kuingat dari semua drama yang pernah terjadi, adalah ketika dia memesan beberapa ratus roti, kue-kue potong, dan empat kue dekor yang cukup besar. Aku dan tim sudah mengatur sedemikian rupa kapan harus dibuat, kapan harus dikemas, dan bagaimana penyimpanannya. Produksi makanan ini benar-benar harus dihitung mundur dari tanggal penyajian tentunya, terutama untuk kue yang masa sajinya pendek seperti yang dipesan. 


Sang ibu janji mengambil pukul tujuh pagi. Aku sudah mendekor sejak malam, sengaja tidak tidur agar kue masih fresh ketika akan disajikan. Roti dan kue-kue lainnya sudah aku siapkan dan simpan dengan saksama agar tidak ada masalah. Anak-anak pun mengerjakannya mepet, sehingga pekerjaan harus dibagi dengan baik. Terakhir, pekerjaan mendekor ini tugasku sehingga aku kerjakan larut malam agar saat diambil semua sudah siap. 


Berhubung tidak tidur, aku terkantuk-kantuk menanti anak buahnya yang akan mengambil. Aku menanti sambil menyesap teh panas yang sengaja kuseduh untuk membantu menahan kantuk. Aku berusaha tidak tidur agar mendengar saat mereka datang. Namun, hingga pukul satu siang, tidak ada yang muncul. Aku sudah berusaha menahan semua kantuk dan lelah, hingga tiba pada titik gusar. Aku menelepon berkali-kali, tetap saja tidak ada jawaban. Akhirnya aku mencari nomor anak buahnya yang dulu pernah aku simpan saat akan mengambil kue.

Ternyata, si mas ini sudah tidak lagi bersama si ibu. Namun, dia berjanji akan menghubungi teman-temannya di sana. Berkat bantuan mas ini, aku berhasil menghubungi ibu pemesan. Sang ibu sempat minta maaf karena tidak melihat ada telepon masuk.


Dengan menahan kantuk aku bertanya, “Bu, ini kok belum diambil pesanannya?”


Si ibu tertawa perlahan. “Aduh, iya, Bu. Mohon maaf. Saya salah hari.”


Astaga! Salah hari, katanya.  Aku hampir saja pingsan. “Salah hari bagaimana, Bu? Saya terlambat siap, kah?”


“Oh, bukan,” jawabnya sambil tertawa. “Harusnya besok baru saya ambil.”


Baru besok diambil, katanya. Apa kabar kue-kueku besok pagi? Baru ini aku bertemu pelanggan yang salah menginformasikan tanggal pemesanan. 


Dengan lemas aku berkata, “Bu, tolong diambil malam ini, ya. Saya tunggu. Kalau besok saya tidak bisa menyimpannya. Dikirim saja kurirnya, Bu.”


Masih tertawa saja dia. “Oke, Bu,” jawabnya santai.


Malam itu, semua kue-kue pun berangkat kepadanya. Aku sudah ingin tidur, tak sanggup lagi bila harus menjaga mereka lagi. Terima kasih, Bu!

Share:

0 Comentarios