“Aku beli roti goreng, Ma.”
Satu kalimat berita yang mengubah hidupku selamanya.
Tadinya kukira suamiku ini—seperti biasa—membeli roti goreng kesukaan kami berdua untuk oleh-oleh sepulang kerja. Ternyata, dia tidak hanya membeli roti gorengnya, tetapi justru membeli seluruh usahanya. Suamiku telah melakukan kesepakatan dengan seorang engkoh yang telah berjualan roti goreng selama berpuluh tahun di Semarang. Usahanya dibeli, lengkap dengan seluruh resepnya, anak buahnya, dan seluruh peralatan perangnya.
“Dan kamu nanti yang menjalankan.”
Kalimat selanjutnya yang membuatku pingsan.
Begitulah adanya. Setelah aku menyelesaikan keterkejutanku, aku bicara baik-baik dengan suamiku. Intinya dia ingin memiliki usaha yang menyenangkan, sama-sama kami sukai, tentu saja akhirnya berakhir di bidang kuliner. Kebetulan suamiku beberapa kali membeli roti goreng milik si engkoh ini.
Dalam pertemuan yang kesekian kalinya, dia berjumpa langsung dengan si engkoh yang kemudian mengutarakan keinginannya untuk menjual usahanya, lengkap beserta seluruh isi dan uba rampenya, hanya karena bosan. Suamiku pun tertarik karena dilihatnya penjualan sangat bagus. Dia pun menyatakan berminat.
Akhirnya, untuk meyakinkanku, suamiku mengajakku berkeliling ke seluruh outlet yang dimiliki si engkoh. Titik-titik mana saja yang masih akan berjalan, berapa banyak karyawannya, hingga aku melihat langsung bagaimana proses penggorengan dan transaksi penjualan yang berjalan mulus di salah satu outletnya. Kuakui rasanya enak, pembelinya tidak berhenti, dan keseriusan pengelolaan si engkoh terlihat di sana. Aku mulai tertarik.
Satu minggu kemudian, transaksi pun dibereskan oleh suamiku. Kami melakukan kesepakatan tentang apa saja yang dialihtangankan, resepnya seperti apa, kapan aku mulai dilatih oleh si engkoh, dan kapan kami bisa mulai berjualan. Sebelas orang anak buahnya yang ada pun sudah diinformasikan tentang perpindahan pemilik ini. Mau tak mau, aku harus mau.
Tak sedikit pun aku bercerita kepada kedua orang tuaku atas pilihan yang kami ambil ini. Selama ini aku tidak pernah benar-benar turun dalam satu sistem dan proses produksi yang berlanjut ke transaksi langsung dengan pembeli. Suamiku bekerja sebagai manajer cabang di satu perusahaan swasta di Semarang dan aku hanya mengurus anak-anak saja selama itu. Hobiku menulis kutuangkan dengan seru dalam blog. Kini, aku menjadi kepala produksi jajanan yang cara membuatnya pun aku tak tahu.
Aku bisa membayangkan emakku yang bakal tertawa terbahak-bahak bila tahu apa yang akan kujalani ini. Aku yang dulu jarang masuk dapur kecuali ketika sudah menikah, yang sukanya keluar rumah dengan alasan OSIS dan segambreng kegiatan lain, yang suka berjam-jam duduk di depan laptop, kini harus bergelimang dengan tepung dan air. Aku harus berpanas-panas di depan penggorengan. Aku harus bermanis-manis di depan pembeli. Satu kata terbayang di kepalaku saat itu: penyiksaan.
Namun, aku sudah sepakat dengan suamiku. Baiklah, dengan mengucap Bismillah, aku mulai menjalani langkah pertama. Minggu berikutnya adalah jadwalku belajar resep roti goreng bersama sang engkoh. Aku pergi ke rumahnya, mempelajari resepnya dengan saksama, memperhatikan betul contoh darinya. Dalam seminggu, aku sudah mempraktikkan sendiri semuanya dengan pengawasan si engkoh.
Minggu berikutnya, dia mengajakku berkeliling Semarang. Ditunjukkannya di mana tempat belanja bahan, di mana tempat membeli peralatan. Bagaimana caranya menghadapi pelanggan, bagaimana caranya menjawab pertanyaan pelanggan. Aku belajar langsung dari ahlinya, dengan sangat sempurna.
Dia berkata bahwa aku tidak perlu kuatir. Anak-anak—demikian kami menyebut para pegawai—sudah tahu apa yang harus dilakukan. Dari mulai memasang tenda hingga membongkarnya kembali, anak-anak sudah piawai. Yang tidak boleh lolos ke anak buahnya adalah resep dan cara membuat adonan biangnya. Hanya aku dan suamiku yang boleh melakukannya. Anak-anak boleh membantu menguleni adonan, itu pun tidak semua dari mereka. Hanya satu dua orang yang sudah ikut lama yang boleh melakukannya. Adonan jadi yang sudah dikemaslah yang nanti akan diolah oleh anak-anak di lapangan.
Sepertinya mudah. Aku semakin mantap dan menguatkan hati. Suamiku yang selalu kulapori perkembangan pelajaran membuat roti goreng ini pun juga sangat bersemangat. Kami sedang memasuki babak baru menjadi pemilik bisnis. Banyak hal yang kami siapkan, termasuk melakukan re-branding pada merek yang sudah ada. Kami menyiapkan kaos seragam. Kami membuat spanduk baru. Kami pun mengecek kondisi peralatan yang ada, mana yang masih bisa dipakai dan mana yang tidak. Kami bersiap dengan semangat penuh!
Ketika aku dan suami sudah dinyatakan siap untuk menjalankan bisnisnya, si engkoh tidak meninggalkan kami begitu saja. Dia tetap ada untuk mengawasi dari jauh, memberitahu hal-hal krusial yang mungkin terlewat. Aku sangat lega. Aku berpikir bahwa setelah ini semuanya akan mulus dan lancar.
Namun, aku ternyata terlalu cepat bahagia. Satu demi satu aral mulai melintang. Ada saja yang terjadi. Bahkan di lokasi utama tempat lapak kami buka, tidak semua orang menerima pergantian pemilik ini dengan tangan terbuka. Bagaimana tidak, lokasinya di kampung pecinan yang buka setiap akhir minggu di Semarang. Semua orang telah mengenal si engkoh ini.
Ketika aku dan suamiku yang berdiri di sana tanpa kehadiran si engkoh, tidak sedikit yang mencibir dan memandang dengan sinis. Kami bagaikan jerawat di tengah permukaan wajah bayi. Namun, mohon maaf, kami tidak mengenal kata menyerah. Bahkan ketika di ujung gang yang lain berdiri lapak roti goreng serupa, suamiku dengan tegar berkata, “Rezeki sudah diatur. Jangan takut!”
Pernah suatu malam, ketika aku sedang menemani karyawan yang sedang berjualan di lapak, ada yang datang untuk membeli. Ketika kutawari varian yang lain, dia menjawab enteng, “Ndak usah, ini aja. Anjing saya ndak suka yang itu.”
Langit terasa runtuh. Aku menangis dalam hati, tetapi aku masih harus tersenyum. “Oh, baik. Terima kasih, Pak.” Uang kertas yang kuterima darinya kuremas kuat-kuat hingga tak berbentuk. Kupejamkan mataku dan terdiam sejenak. Setelah badai mereda, aku tersenyum kembali kepada para pelanggan yang datang. Uang kertas itu kumasukkan laci dalam keadaan lurus dengan bekas remasan tangan yang tak beraturan.
Cerita demi cerita bergulir sepanjang perjalananku mengurus bisnis roti goreng ini. Kehabisan modal, sudah pernah. Berlimpah keuntungan, alhamdulillah sudah pernah juga. Anak buah terseret masalah hingga ke kantor polisi, pernah juga. Gagal membelikan celana jins baru karena rugi besar dalam satu event tahunan, alhamdulillah sudah juga.
Episode roti goreng ini adalah sebuah pelajaran berharga dalam hidupku dan suami. Yang jelas, ini adalah awal mula aku berkenalan dengan timbangan bahan, tepung, telur, coklat, keju, dan berbagai jenis bahan kue. Awal perjalanan yang berupa kawah candradimuka.
#windyeffendy #thestoryofmycakes #awalmula
No comments
Post a Comment