Perempuan-Perempuan (yang Memilih) Tangguh



Suatu hari, seorang teman bercerita kepadaku. 
"Aku mau diajak kerja ke luar kota oleh satu orang kenalan baikku."
"Lalu?" tanyaku.
"Aku galau," jawabnya.
"Kenapa?"
"Kerjanya tuh dua minggu di luar kota. Setiap bulannya. Lalu aku harus kontrak dengannya selama setahun."
"Wow ...," kataku tertahan. "Lalu kamu terima?"
"Iya, kayaknya. Aku pengin."
Aku terdiam sejenak. "Yang kamu cari sebenarnya apa? Portofolio? Uang? Atau kegembiraannya?"
Ganti dia yang terdiam. "Aku ingin dapat suasana beda. Uang dan portofolio mengikuti jelasnya," jawabnya setelah hening cukup lama.
"Keluargamu bagaimana? Sudah dapat izin dari suamimu?"
Sejenak, dia menerawang jauh ke depan. "Tadi malam aku bilang. Katanya oke, gak apa. Aku jadi semangat."
"Terus, kenapa kamu galau? Suamimu sudah setuju. Gitu kok pake nanya ke aku." Aku tergelak di sampingnya. 
Dia tak menjawab, hanya ikut tertawa bersamaku. 



Ketika matanya berserobok denganku sejenak, aku bisa melihat sebuah cahaya di dalamnya.
Aku tahu, jauh di lubuk hatinya, ada sesuatu yang mengganggunya. 
Dia pasti galau dengan pekerjaan yang mengharuskannya meninggalkan anak-anak tercinta. Anaknya dua, yang pertama kelas lima SD, dan yang kecil masih belum genap empat tahun. 
Namun, suaminya sudah mengizinkan. Lalu apalagi yang harus dipertanyakan?
Itu situasi yang dimilikinya saat ini. Nalurinya sebagai ibu yang lalu mengusiknya. Apakah dia harus mengambil tawaran itu dan meninggalkan anak-anaknya selama empat belas hari setiap bulannya? Ataukah dia menolak tawaran itu dan tetap berada di keluarganya setiap saat?

Di lubuk hatinya, aku tahu, pasti jiwa petualangnya bergejolak. Apalagi kemudian dia bercerita bahwa pekerjaannya nanti akan berkeliling Indonesia. Kapan lagi? Sayang sekali bila tidak diambil, itu yang tercetus dari bibirnya tadi. 

Namun, di sisi lain, pasti ada beban yang mengganggunya—sebagai seorang ibu.

Aku diam saja. Aku tidak ingin terlalu memberi doktrin beraneka rupa kepadanya. Karena aku tahu pasti, dia sudah tahu jawabannya. Bahkan aku yakin, suaminya memberi izin pun dengan membuat dia berpikir. 

Dulu, ketika anak-anakku masih kecil, sebisa mungkin aku mengambil proyek atau pekerjaan yang masih bisa dilakukan di sekitar mereka, atau mereka kubawa serta. Bila memang harus, hanya sekali dua, aku akan berkompromi dengan suami dan pasti menitipkan mereka kepaada seseorang yang sangat tepercaya. Satu lagi, tidak pernah dalam waktu lama. Aku tak bisa. Itu saja. Apa pun yang kulakukan selalu mereka alasannya, maka dari itu tidak mungkin aku pergi bekerja tanpa membuat mereka menjadi latar belakangnya. Pekerjaan apa pun tidak mungkin kulakukan tanpa mempertimbangkan kedua gadis kecilku. 

Memang tidak sama, perempuan di sini dan di sana. Kondisi di situ dan di sini. Jangan lalu bicara tentang perempuan-perempuan yang harus bekerja untuk menghidupi keluarga dan terpaksa meninggalkan anaknya bekerja. Itu lain urusan. Ini kondisi kami tidak terpaksa, ini hanya suatu pilihan.

Ingin rasanya aku mencubit temanku dan berteriak, "Sadarlah!" 
Nanti akan ada waktunya untuk dia bisa ke mana-mana, pergi tanpa risau, tanpa perlu gelisah memikirkan anaknya. Bukan sekarang. 

Namun, sekali lagi, itu wilayahnya. Teritorinya. Aku tahu pasti, dia perempuan pintar. Dia pasti tahu jawabannya. Tinggal apakah dia akan mendengarkan isi hatinya, atau memilih memenuhi ambisinya. 

Dia sedang menimbang untuk memilih mana yang paling membuatnya kelihatan tangguh. Aku sangat memahami sahabatku ini yang akan lebih suka terlihat sebagai perempuan sibuk ke sana kemari dan punya banyak kegiatan dan aktivitas tinimbang dikenal sebagai ibu rumah tangga. 

Dia hanya belum sadar, bahwa sesungguhnya perempuan yang melindungi anak-anaknya di rumah adalah perempuan yang paling tangguh. Dan itu adalah pilihan terbaik. 

#perempuantangguh
#windyeffendy




No comments