Ada sebuah jalan kehidupan di Semarang. Aku menemukannya tanpa sengaja. Ketika aku sedang termangu dalam alunan jalan yang naik turun di sana. Ketika ada belaian lembut angin mengajakku ke awan.
Jalan ini namanya jalan Pamularsih. Sebenernya hampir setiap hari aku melewatinya. Demi menjemput anak-anakku tercinta dari sekolahnya. Tapi dulu-dulu aku tak merasa melihatnya. Jalan itu sepertinya jalan biasa saja.
Tapi ketika aku membuka mataku, aku melihat jalan ini dalam bentuk yang lain.
Faktanya, jalan ini memiliki lembah dan bukit. Bergandengan bertautan bersalaman selalu.
Jalan ini memiliki tikungan dan jalan lurus. Berkelok dan lalu terus. Lalu berkelok lagi dan terus lagi.
Jalan ini juga memiliki banyak cabang. Persimpangan di kiri kanannya. Bila pagi ada banyak bapak polisi menjaganya. Menjaga dari kecelakaan yang mungkin terjadi.
Lalu ketika hari beranjak siang para penjaga keamanan itu menghilang.
Jalan ini diawali dari sebuah tikungan dan berakhir di sebuah bundaran, Kali Banteng namanya. Atau sebaliknya. Mengawali dari bundaran itu, dan berakhir di sebuah tikungan.
Dilihat dari mata hati, jalan ini seperti kehidupan yang kita jalani. Kehidupan yang kita lalui, memiliki awal dan memiliki akhir. Dari tikungan itu, hingga berakhir di tempat yang berbeda.
Kehidupan kita pun naik dan turun. Punya banyak lembah dan bukit, puncak dan turunan. Kita bisa terkadang sukses bahagia di atas sana, kadang kita juga bisa jatuh dan menangis sedih penuh air mata.
Kita pun tiba-tiba berbelok, mengikuti jalan kita, atau mengikuti kata hati. Atau kadang kita berteguh hati terus menerus melakukan apa yang kita anggap benar. Jalan lurus, menurut versi kita.
Dan di hidup kita pun banyak cabangnya, ada banyak pilihan. Kemana kita mau memilih untuk berpaling. Kemana kita akan memilih untuk berbelok? Ada banyak pilihan, pilihan cabang kehidupan.
Dan bila di awal pilihan itu, kita selalu ada keraguan. Ada setitik intuisi untuk menjaga kita dari kesalahan. Seperti pak polisi di pagi itu. Tapi ketika kita sudah terbiasa melangkah dan mengambil keputusan, tak akan terasa hal itu ada. Walau sebenarnya tetap di dalam hati kita.
Karenanya, aku menikmati setiap desau angin di jendela mobilku di jalan ini. Karena aku menikmati setiap belokan yang kulalui di jalan ini. Menikmati setiap hambatan, menikmati setiap naik turunnya.
Seperti aku menikmati hidupku...
life is about commas, it is labyrinth indeed
wind
Jalan ini namanya jalan Pamularsih. Sebenernya hampir setiap hari aku melewatinya. Demi menjemput anak-anakku tercinta dari sekolahnya. Tapi dulu-dulu aku tak merasa melihatnya. Jalan itu sepertinya jalan biasa saja.
Tapi ketika aku membuka mataku, aku melihat jalan ini dalam bentuk yang lain.
Faktanya, jalan ini memiliki lembah dan bukit. Bergandengan bertautan bersalaman selalu.
Jalan ini memiliki tikungan dan jalan lurus. Berkelok dan lalu terus. Lalu berkelok lagi dan terus lagi.
Jalan ini juga memiliki banyak cabang. Persimpangan di kiri kanannya. Bila pagi ada banyak bapak polisi menjaganya. Menjaga dari kecelakaan yang mungkin terjadi.
Lalu ketika hari beranjak siang para penjaga keamanan itu menghilang.
Jalan ini diawali dari sebuah tikungan dan berakhir di sebuah bundaran, Kali Banteng namanya. Atau sebaliknya. Mengawali dari bundaran itu, dan berakhir di sebuah tikungan.
Dilihat dari mata hati, jalan ini seperti kehidupan yang kita jalani. Kehidupan yang kita lalui, memiliki awal dan memiliki akhir. Dari tikungan itu, hingga berakhir di tempat yang berbeda.
Kehidupan kita pun naik dan turun. Punya banyak lembah dan bukit, puncak dan turunan. Kita bisa terkadang sukses bahagia di atas sana, kadang kita juga bisa jatuh dan menangis sedih penuh air mata.
Kita pun tiba-tiba berbelok, mengikuti jalan kita, atau mengikuti kata hati. Atau kadang kita berteguh hati terus menerus melakukan apa yang kita anggap benar. Jalan lurus, menurut versi kita.
Dan di hidup kita pun banyak cabangnya, ada banyak pilihan. Kemana kita mau memilih untuk berpaling. Kemana kita akan memilih untuk berbelok? Ada banyak pilihan, pilihan cabang kehidupan.
Dan bila di awal pilihan itu, kita selalu ada keraguan. Ada setitik intuisi untuk menjaga kita dari kesalahan. Seperti pak polisi di pagi itu. Tapi ketika kita sudah terbiasa melangkah dan mengambil keputusan, tak akan terasa hal itu ada. Walau sebenarnya tetap di dalam hati kita.
Karenanya, aku menikmati setiap desau angin di jendela mobilku di jalan ini. Karena aku menikmati setiap belokan yang kulalui di jalan ini. Menikmati setiap hambatan, menikmati setiap naik turunnya.
Seperti aku menikmati hidupku...
life is about commas, it is labyrinth indeed
wind
No comments
Post a Comment