Kehangatan Dalam Semangkuk Rindu

Februari lalu, aku menyerah pada lelah. Aku terdiam di kamar, tak bisa melangkah, dan menggigil kedinginan. 

Terpapar? Maybe. Aku tidak tes. Sengaja tidak tes karena di akhir bulan ada urusan yang tidak bisa ditunda dan harus kuselesaikan. Bila tes, harus opname, bubarlah semua. Suamiku tercinta bilang, ayo sugesti positif. Ini asam lambung biasa. 

Jadilah aku minum semua yang bisa kuminum—ketika air saja terasa pahit. Aku makan semua yang bisa kumakan. Kala itu aku diselamatkan oleh air degan bergelas-gelas. Kuminum tanpa henti karena hanya itu yang bisa kurasa. Semua makanan terasa pahit. Lidahku gelap. Aku meminta dimasakkan hidangan khas eyang kesayangan: lapis daging jadoel dan huitspot (aku masih gelap juga dengan ejaannya yang benar). Rasanya: pahit semua. Aku menelannya dengan susah payah. 


Tapi aku sudah melaluinya. Alhamdulillah. Lalu, kini kutuntaskan rindu pada dua masakan favorit yang dulu selalu dimasakkan eyang. Tidak ada yang bisa mengalahkan eyang putri untuk dua masakan ini, termasuk ibuku sendiri. Demi rindu, aku terima sajalah apa yang ada. 

Satu mangkuk huitspot pagi ini telah menghapus semua lelah. Biar rindu nanti datang lagi, aku akan menyelam kembali dalam kuah manis putih yang menyenangkan ini.

#windyeffendy #jurnalagustus #perlimamenulishari23


Tulisan ini telah tayang di FB:

https://www.facebook.com/windyrachmawati/posts/10222595183440564


No comments