Dalam berbagai event menulis, lomba ataupun sekadar nulis bareng, sering ada batasan jumlah kata yang harus dipatuhi. Beda dengan menulis novel, sepanjang apa pun, kebebasan ada di tangan penulisnya.
Sebagai penulis, saya melihat jumlah kata yang ditetapkan adalah sebuah syarat yang harus dipenuhi. Bila tidak sesuai, pasti tulisan saya tidak akan lolos. Sesederhana itu.
Momok atau Tantangan
Namun, ternyata untuk beberapa penulis yang saya temui, hal itu merupakan masalah besar untuk mereka. Merasa dibatasi, merasa dikekang, dan merasa dipenjara. Ketika cerita yang ditulis belum tuntas di batas jumlah kata yang ditentukan, saya menemukan ada tiga hal yang dilakukan. Satu: nego lewat jalur dalam bila memang bisa, dua: mengirimkan karya begitu saja berapa pun jumlah kata yang dihasilkan, atau tiga: mematuhi batasannya dan memangkas tulisannya.
Mungkin Anda berpikir, kok bisa ada yang nego menggunakan jalur dalam? Ada, dan terjadi. Mereka mencoba mengubah ketentuannya agar tulisan panjangnya tidak terpangkas—biasanya terjadi dalam event internal, atau event lingkup kecil. Tidak banyak yang melakukan, tetapi ada.
Yang mengirimkan karya begitu saja dengan jumlah kata melebihi batas, tentu seketika terlempar dari meja juri. Bahkan belum tiba di meja juri pun, masih dalam seleksi administrasi, tulisan-tulisan itu akan terpinggirkan. Careless, menurut saya. Tidak niat, mungkin bahasa canggih lainnya.
Untuk mereka yang berjibaku memangkas tulisannya demi memenuhi ketentuan, batasan jumlah kata bukanlah momok melainkan tantangan. Sesuatu yang harus ditaklukkan. Buktinya, banyak yang bisa. Mereka-mereka inilah yang patut diberikan apresiasi karena mau berusaha.
Bukan Sekadar Memangkas Cerita
Itulah yang sering terjadi. Agar bisa memenuhi ketentuan jumlah kata, para penulis terkadang memutuskan untuk memangkas cerita. Akhirnya, ada detail-detail yang dibuang, dan cerita menjadi cacat logika atau tidak utuh.
Padahal, bukan begitu caranya. Dalam menulis cerita apa pun, biasanya kita akan berangkat dari ide atau gagasan, lalu menuju kerangka, baru penjabaran. Nah, proses penjabaran atau penulisan inilah yang harus dicermati. Bagaimana memilih kata agar gagasan bisa tetap tersampaikan, bukan sekadar membuang ini itu agar masuk ke batas jumlah kata.
Bicara soal batasan dalam menulis, jumlah kata yang ditentukan sebenarnya lebih longgar daripada karakter yang dibatasi. Terkadang ada lomba atau event menulis yang membatasi jumlah karakter. Ini justru lebih tricky. Bila batasannya jumlah kata, mau berapa karakter dalam satu kata pun akan masih dihitung satu kata. Bila batasannya jumlah karakter, pemilihan kata harus lebih cerdik demi menghemat karakter.
Cara Jitu Memenuhi Batas Kata
Pasti pada ingin tahu bagaimana triknya?
Jadi, begini.
Langkah pertama, tulis dulu semua. Anda tidak akan pernah tahu seberapa luas cerita yang mengambang di kepala itu bila tak dituliskan sampai tuntas. Simpan file-nya, lalu simpan lagi dengan nama lain bila ingin menyuntingnya. Di file kedua itulah, mari bersenang-senang meramu kata. Ingat, selalu simpan di file berbeda karena tulisan asli itu bagaikan mutiara belum dipoles di dasar lautan.
Langkah kedua, cari detail-detail yang tidak perlu. Caranya, baca ulang dan rasakan. Bila ada informasi yang ditulis dan bila dibuang tidak mengubah cerita, buanglah. Hapus.
Langkah ketiga, periksa struktur kalimat Anda. Subjek, predikat, objek. Sudah efektif? Apakah Anda menggunakan kata-kata hubung yang tidak perlu? Cari seberapa banyak Anda menggunakan kata "dan", "untuk", "dengan", dan sebagainya. Pertimbangkan. Bila tidak perlu, buang.
Langkah keempat, bila rasanya sudah mentok di semua cara, mulailah mengatur ulang kalimat.
Contoh:
Kegiatan ini mendapat sambutan dan dukungan penuh dari pemerintah Desa Harum. (11 kata)
diubah menjadi
Pejabat Desa Harum mendukung kegiatan ini secara penuh. (8 kata)
Lihat, kita menghemat 3 kata, bukan? Tanpa mengubah makna, yang saya lakukan hanya mengubah perspektif. Tentu, itu hanyalah contoh. Penyesuaian dalam suatu kalimat tentu harus melihat konteks dan tujuan kalimat.
Berlatih adalah Koentji
Mengubah kalimat seperti di atas pun tidak serta merta hanya dibalik saja, melainkan butuh latihan untuk melihat kejelian. Seperti kata peribahasa, alah bisa karena biasa, mengotak-atik kalimat akan mudah ketika terbiasa.
Latihan menjadi kunci utama dalam pengoperasian misi menaklukkan batasan kata. Mulailah berlatih dengan cerpen atau artikel atau esai yang sudah Anda tulis sebelumnya. Bila tulisan Anda terbatas, mulailah berlatih menulis. Sehari satu tulisan. Lalu, dengan santai mengolahnya kembali hingga menjadi tulisan yang mampat dan bernas.
Batasan kata yang biasa digunakan dalam cerpen berkisar antara 1.500-2.000 kata, sementara batasan karakter biasanya 10.000 karakter. Cobalah berlatih dengan batasan itu. Ketika Anda harus ikut event fiksi mini yang batasannya hanya 500-700 kata, mungkin Anda akan lebih pusing lagi. Namun, bila sudah terbiasa, akan mudah menemukan kata-kata mana yang harus diolah dan kalimat mana yang harus diatur ulang.
Belum lagi ketika harus menulis pentigraf, yang berbatas 210 kata. Singkat, padat, apalagi harus ditambah plot twist. Seharusnya dengan kemasifan dunia media sosial saat ini, kita sudah terbiasa menulis takarir yang singkat dan padat karena keterbatasan ruang. Bedanya di media sosial, seringnya hanya sekadar curhat atau tulisan selintas saja.
Nah, mari mencoba berlatih untuk membuat tulisan bernas dalam ruang yang tidak luas. Seperti merancang Rumah Sangat Sederhana, Anda tidak boleh meletakkan septic tank terlalu dekat dengan tandon air. Namun, selalu ada solusinya, kan? Gunakan tandon atas.
Sama juga dengan tulisan dengan space terbatas. Selalu ada solusinya. Yang paling penting, menulislah dengan cerdas.
Anda siap berlatih? [WE]


No comments
Post a Comment