Dalam percaturan bisnis, persoalan alumni dari sekolah mana, universitas mana, sering kali menjadi jaminan kualitas seseorang. Namun, apakah iya? Benar demikian?
Beberapa hari terakhir, saya geli melihat percakapan yang terjadi dalam sebuah grup WhatsApp. Judulnya grup alumni sekolah, yang kemudian di dalamnya sering terjadi "keributan" kecil tentang jor-joran alumni universitas masing-masing. Awalnya lucu, tetapi lama-lama semakin ke sini saya semakin muak. Dalam percakapan itu akhirnya terbawa-bawalah urusan pandangan politik masing-masing, yang kemudian mengerucut bahwa si politikus A yang alumni universitas X adalah lebih baik dari politikus B yang alumni universitas Y.
Kalimat menjengkelkan berikutnya adalah: bagaimana ini universitas Y, alumninya kok gitu semua dalam mengambil kebijakan atau misal bertindak, atau misal dalam tugasnya menjabat di sebuah dinas. Saya pikir, ketika urusannya adalah bercanda, merembet ke soal-soal seperti ini menjadi tidak etis. Bukan tanggung jawab si universitas tersebut ketika alumninya melakukan tindakan sesuatu yang ternyata dianggap salah atau buruk di masyarakat.
Bahkan hal tersebut terjadi jauh ketika sudah lulus dan melewati masa-masa bekerja setelah kelulusan. Banyak lingkungan kerja yang membentuk seseorang, bahkan mungkin lingkungan keluarga inti di masa kecil yang membentuk dasar pribadi seseorang pun mungkin lebih banyak berperan. Aneh rasanya semata-mata menimpakan ketidakbecusan seseorang pada satu lembaga yang bernama sekolah—jenjang apa pun itu.
Ada satu hal lain yang pernah terjadi di urusan pertemanan ini. Kebetulan saya dan suami dari kota yang sama, sekolah pun sama di jenjang SMP dan SMA. Masa kejayaan Facebook kami alami berdua. Nyaris semua teman ada di FB, dan berinteraksi seolah berjumpa sehari-hari. Pertemuan di darat sudah sangat jarang ketika sudah berada di kota berbeda tempat berjibaku dengan hidup masing-masing. Cara bercanda pun sama dengan masa sekolah dulu. Sehingga, kadang berjumpa pun membahas hal yang sama, atau justru membahas si ini dan si itu yang tidak terlihat kabarnya di FB. Bukan di dunia nyata, tetapi di FB.
Nah, dari semua interaksi di dunia maya itu, tiba-tiba ada satu teman berkomentar di postingan suami saya. Beda konteks dari yang dibahas oleh suami saya, sang teman ini menulis: Sudah enak hidupnya, lupa sama temannya.
Kami berdua membahas hal itu panjang lebar di rumah. Teman yang menulis itu tentu juga saya kenal baik karena berasal dari sekolah kami juga. Intinya, betapa tiba-tibanya dia menulis hal tersebut, lepas dari kesulitan apa yang tengah dia hadapi, hanya karena melihat kehidupan yang kami jalani "sudah enak" alias tampak berkecukupan di matanya. Padahal kami juga masih berjuang. Posting di media sosial tentunya hanya yang baik-baik saja, tak perlu membagikan masalah kepada orang lain.
Sesama teman SMA, harus saling membantu, itu yang dipegang teguh oleh beberapa teman ini. Saya tidak tahu apakah dulu suami dan teman-temannya ini melakukan sumpah untuk saling membantu ketika sudah hidup berkecukupan dan sedang ada yang kesulitan, atau bagaimana. Yang jelas ketika kami tahu dan ingin membantu pun tak perlu melakukan pengumuman. Yang kami garis bawahi, tuduhan "tidak mau membantu teman" itu dilontarkan begitu saja tanpa ada angin dan hujan, tanpa mengetahui duduk masalahnya, dan tanpa tahu kesulitan yang dihadapinya.
Kami cuma bisa mengelus dada dan memaklumi tuntutan itu, tanpa berinisiatif untuk melakukan investigasi. Kami tidak perlu menjelaskan kepada orang-orang yang tidak perlu, apalagi menjelaskan hal-hal yang tak ada urusannya dengan mereka.
Nah, intinya adalah label sesama alumni sekolah yang sama ini disandang dan digunakan untuk melegitimasi banyak hal yang belum tentu pas. Saya cenderung tidak memerlukan untuk datang ke reuni bila memang suami tidak berkenan. Selain para mantan pacar yang juga akan saling berseliweran (LOL), terkadang muncul pertanyaan-pertanyaan tidak menyenangkan yang menurut mereka tidak apa-apa. Ada hak untuk tahu, untuk bertanya, dan untuk membahas, itulah jangkauan luas pertemanan yang sering saya lihat. Sementara, semakin ke sini, hidup sudah menjadi sangat kompleks, tidak perlu diumumkan pada dunia bila tidak perlu, kecuali saya adalah seorang public figure yang harus klarifikasi hal yang diluruskan pada masyarakat.
Mungkin pandangan saya salah, tidak mengapa. Saya hanya ingin mencurahkan perasaan. Dalam perjalanan hidup, kelekatan dan kedekatan seseorang dengan teman satu dan lainnya tentu memiliki derajat yang berbeda-beda. Semakin dekat, kadang batas itu semakin kabur. Semakin tidak terasa bila hal-hal yang diucapkan atau dilakukan menyinggung perasaan atau kehidupan pribadi orang lain.
Buat saya pribadi, semakin ke sini, semakin memilih teman. Bukan berarti sombong—walau sering dikatakan demikian, tetapi lebih memperhatikan kesehatan jiwa sendiri. Mengurangi interaksi dengan orang-orang yang toksik lebih aman daripada harus menghadapi dan mengatasi kemarahan atau kejengkelan yang terjadi kemudian, lalu edan sendiri. No, big no. Saya ingin menikmati hidup dengan bahagia, bilapun harus marah hanya untuk hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan, bukan untuk urusan pertemanan.
Namun, sekali lagi, saya bisa salah di mata orang lain, bahkan juga Anda yang sedang membaca ini. Buat beberapa orang, alumni never die! Teman-teman sekolah, seangkatan, yang berkembang dalam satu lingkungan yang selalu sama, hingga beranak pinak dalam masa yang sama, akhirnya menjadi sekutu abadi yang tidak bisa dipisahkan. Demikian? Apakah Anda demikian?
Saya juga, lo. Suami saya, teman dari SMP dan SMA, satu angkatan, menjadi sekutu abadi yang tak terpisahkan, alhamdulillah hingga pada 25 tahun usia perkawinan tahun ini. Nyaris 38 tahun saya mengenalnya dalam hidup ini. Kadang-kadang, saya sudah merasa reuni setiap hari. [WE]


No comments
Post a Comment