The Story of My Cakes—Episode 6: Kue yang Tak Boleh Dimakan

Kue yang satu ini sangat luar biasa untukku. Bentuknya sederhana hanya kotak biasa, tetapi kisahnya sangat membekas di ingatanku. Kue ini kubuat saat sudah berada di Surabaya. 



Ceritanya, ada seorang ibu menghubungiku. Dia ingin membuatkan kue ulang tahun untuk anaknya. Ketika kutanya ingin tema apa, ibu itu bilang bahwa belum ada ide. 


Seperti biasa dalam setiap pembuatan kueku, aku mulai menjadi reporter. Tugas utamaku adalam mewawancara setiap pelanggan sampai ketemu keinginannya membuat kue dengan satu tema spesifik. Itu sebabnya, kue-kue yang kubuat tidak pernah berakhir sama, walau temanya mirip.


Kali ini, aku pun mulai mencoba bertanya kepada sang ibu. Kira-kira apa yang disukai anaknya. Anaknya perempuan, usia sekitar 5 atau 6 tahun, aku lupa. Yang jelas, di usia seperti itu kesukaan anak bisa berubah-ubah. Harus benar-benar yakin mau tema apa dan jangan sampai berubah di tengah jalan. Itu sebabnya aku selalu menggambar kue dengan desain yang diinginkan, menunjukkannya pada pelanggan, lalu bersepakat dengan pelanggan menggunakan uang muka. 


Peraturan sudah kusampaikan di depan: tidak boleh mengganti desain atau memberikan permintaan untuk menambah atau mengurangi desain bahkan merombaknya ketika sudah membayar uang muka. Bukan apa-apa, ketika desain sudah oke, pelanggan sepakat, esok harinya aku sudah mulai menghitung bahan dan merancang waktu pembuatan. Sehingga bila ada perubahan mendadak, bisa dipastikan aku akan babak belur. Uang, tenaga, dan waktu yang dihabiskan akan terbuang sia-sia. 


Nah, jalan pertama adalah menanyakan film atau karakter kartun kesukaan anaknya. Ibunya menjawab, tidak ada yang spesifik. Lalu aku mencoba bertanya tentang warna kesukaann anaknya. Ibunya berkata, ungu. Baiklah, aku mendapat satu kata kunci. Lebih jauh lagi, aku bertanya apa yang kira-kira sedang sangat dekat atau sedang menjadi perhatian anaknya saat ini. Atau bila ada kebiasaan atau rutinitas anaknya saat ini yang menjadi hal khusus, aku pun menanyakannya.


Tak lama, sang ibu bercerita. Sebelum tidur malam, anaknya selalu menunggu ayahnya pulang dari kantor. Sang ayah yang baru pulang akan masuk ke kamar si bocah dan bercerita dulu hingga anaknya tidur. Bila belum mendapatkan cerita sebelum tidur dari sang ayah, gadis kecil ini tidak akan bisa tidur dengan nyenyak.


Dari sini, aku mulai mendapatkan ide. Aku mengusulkan, bagaimana bila kueya berbentuk tempat tidurnya, dengan si gadis kecil yang sedang bersiap tidur, dan ada sang ayah yang menunggui di dekatnya untuk membacakan dongeng. Ibunya langsung setuju. Bahkan, sang ibu segera menambahkan, beberapa bentuk boneka kesayangan gadis kecilnya. Menurut ibunya, akan sangat menarik bila di sekitar si gadis ada bentuk boneka kesayangannya yang tidak pernah ketinggalan, selalu dibawa ke mana-mana.


Aku sangat setuju dengan usul itu. Aku pun segera  meminta foto boneka-boneka kesayangan gadis itu. Setelahnya kami segera mendiskusikan harga dan detail pengiriman. Setelah semua beres, aku pun bersiap membuat kue itu. 


Seperti kesepakatan, kue kubuat sesuai gambaran yang telah kami sepakati. Kue berbentuk kotak biasa, ukuran 20x20, yang di atasnya kututup dengan fondant warna ungu. Kubuat  replika kepala tempat tidur atau headboard untuk ditempel di sisi paling atas kue, sehingga kue terlihat seperti tempat tidur sebenarnya. Aku membuat bantal-bantal kecil dan guling, juga figurin satu anak perempuan yang sedang duduk bersandar pada kepala tempat tidur. Selimut menutupi bagian kakinya sehingga aku hanya perlu memberikan detail pada tubuh bagian atasnya saja. Di sekitar figurin gadis itu, kubuat replika boneka sesuai dengan foto yang dikirim oleh ibunya.


Di sisi lain tempat tidur, kubuat figurin lelaki yang sedang duduk sambil membawa buku, seolah-olah akan menceritakan sebuah dongeng pada gadis kecil yang akan tidur malam. Di sekitar tempat tidur gadis itu kuletakkan beberapa replika baju atau buku dan mainan agar terkesan seperti kamar tidur anak.


Pada hari yang sudah ditentukan, aku mengirim kue yang sudah jadi itu ke alamat yang diberikan. Kurirku menyatakan sudah diterima, kemudian aku segera melakukan konfirmasi. Sang ibu mengucapkan banyak terima kasih. Dia berkata, besok pagi-pagi saat bangun tidur, kue akan diberikan kepada anaknya, tepat di hari ulang tahunnya. 


Keesokan harinya, sekitar pukul sembilan pagi, aku mendapat kiriman pesan dari sang ibu. Dia bilang, anaknya sangat gembira. Si gadis kecil sangat menyukai replika dirinya dan kamar tidurnya, terutama karena ada sang ayah dan replika boneka kesayangannya di sana. Aku turut lega mendengar cerita si ibu.


Namun, satu kalimat berikutnya membuatku tergelak. 

“Kuenya tidak boleh dimakan, Mbak,” kata sang ibu sambil tertawa tertahan.  “Saking senangnya, kue tidak boleh dipotong. Maunya disimpan saja sambil dilihat.”


“Wah, sayang lo, Bu, kalau tidak dimakan,” jawabku kemudian. “Coba diajak potong lagi saja nanti sore atau besok pagi.” Aku cuma bisa mengusulkan hal itu, mengingat sayang sekali kue yang sudah dibuat akhirnya tidak boleh dimakan.


Saat itu, ibunya mengiyakan. Setelah itu, aku tidak mendapat kabar lagi darinya karena kesibukanku. Kupikir, urusan potong-memotong kue pasti sudah beres. 


Ternyata, seminggu kemudian ibunya mengabariku kembali. Si kue tetap tidak boleh dipotong oleh si gadis kecil itu, hingga akhirnya berjamur dan tak bisa disimpan lagi. Barulah si gadis mengalah dan merelakan kuenya dipinggirkan. 


Aku cuma bisa tertawa. Aku berkata kepada sang ibu, tahu begitu aku buatkan dari gabus saja, sehingga bisa disimpan. Sementara kuenya bisa disajikan dalam bentuk lain. Ibunya juga hanya tertawa, mana dia tahu bahwa kue itu akan berakhir utuh, tidak boleh disentuh, dan tidak boleh dimakan.


#windyeffendy #thestoryofmycake

Share:

0 Comentarios