The Story of My Cakes—Episode 5: Puisi Tengah Malam

Ini adalah salah satu kue yang sempat kukerjakan saat masih di Semarang. Aku tidak tahu si pelanggan ini mendapatkan nomorku dari mana, yang jelas saat itu sekitar tahun 2011, belum ada Instagram seperti sekarang. Aku hanya mengunggah kueku di blog dan facebook saja, bila sempat. 



Pelanggan itu adalah seorang lelaki muda. Dia ingin memesan kue dengan tema permintaan maaf. Rupanya, dia sedang berusaha menaklukkan pacarnya yang ngambek. Pikirnya, kue yang dikirimkan akan bisa membuat hati sang pacar lunak dan mau berbaikan kembali. Waktu itu kami hanya berkomunikasi lewat Blackberry Messenger dan tidak bertemu muka. Pembayaran kue di depan sebanyak lima puluh persen, sisanya dilunasi menjelang pengiriman. 


Si lelaki ini dengan spesifik meminta kuenya benar-benar menggambarkan adegan permintaan maaf dari cowok kepada ceweknya. Nah, lo! Aku pun memutar otak. Paling gampang, konotasi meminta maaf kepada kekasih tentunya sang pacar berlutut sementara si perempuan duduk di sofa atau kursi. 


Desain awal ini kusampaikan kepadanya dan dia setuju. Lebih detail lagi, dia ingin lokasi meminta maafnya adalah di suatu ruangan, pacarnya duduk di sofa. Oke, agar mengesankan ada di ruangan, berarti di bawah sofa akan kubuat pola seperti karpet, dan di kiri kanan sofa akan kuletakkan meja kecil.  Dia pun setuju.


Agar lebih seru, aku membuat posisi si perempuan seakan membelakangi si cowok yang sedang berlutut, dengan gestur seakan membuang muka, tak sudi melihatnya. Aku tertawa sendiri saat mulai menguleni fondant dan membayangkan hasil jadinya. Pasti seru nanti saat diterima ceweknya. 


Saat ada pesanan kue, aku sebisa mungkin menyiapkan detail dan gula fondant yang akan digunakan sebelum membuat kuenya. Baru setelah itu aku mulai menimbang bahan dan memegang mikser. Kala itu, dua anakku masih duduk di TK dan SD. Sehingga, jadwal antar jemput menjadi prioritas. Membuat kue haruslah dilakukan ketika semua jadwal anak-anak beres, termasuk mengantar jemput si sulung untuk les. Sore hari atau siang di antara jadwal menjemput si sulung dan si bungsu, aku menyempatkan mengoven kue itu hingga matang. 


Suamiku pulang ke rumah saat sore hari menjelang magrib. Setelah itu, aku masih harus menyiapkan makan malam dan menidurkan anak-anak. Seringnya, setelah semua tertidur, barulah aku menyelesaikan kueku. Kue yang sudah matang dan dingin sudah siap untuk didekor. Waktu itu aku masih kuat untuk tidak tidur semalaman hanya demi menyelesaikan kue pesanan.


Sama juga saat aku membuat kue ini. Aku memilih bekerja malam hari. Kue yang sudah siap untuk didekor baru kupegang di atas pukul sembilan malam. 


Ketika kue sudah kututupi dengan fondant, kuletakkan di atas alas kue, dan detailnya mulai kukerjakan. sebuah pesan masuk di BBM dari si cowok pemesan.


“Mbak, boleh saya minta tolong sedikit?”


Saat itu menjelang tengah malam. Aku bertanya-tanya dalam hati apa maunya si pelanggan ini malam-malam.


“Ya, bagaimana, Mas?”


“Begini, Mbak. Boleh tidak saya menambahkan puisi di kuenya?”


Astaga! Kenapa tidak dari kemarin dia bilang.


“Maksudnya bagaimana?”


“Saya ada puisi yang saya karang sendiri. Saya mau minta tolong Mbak untuk menuliskannya, lalu meletakkannya di dasar kue, sehingga kalau dia memotong kuenya, dia bisa menemukan puisinya.”


Aku melongo. Kue itu sudah seperti dilem di atas alas kuenya. Kalau harus menyelipkan kertas di antara kue dan alas kuenya, aku harus membongkar bagian bawahnya dan mengulang lagi menambahkan hiasan duntuk menutupi. Namun, idenya sangat menarik.


“Hm, ini sudah hampir jadi kuenya, Mas.” Aku mencoba menawar.


“Wah, tidak bisa diusahakan, kah, Mbak?”


Kupikir-pikir lagi, kasihan juga pemuda itu yang mau mencoba segala cara untuk merayu pacarnya. 


“Ya, sudah. Mana puisinya? Sini saya tuliskan, nanti saya selipkan di bawahnya.”


“Wah, terima kasih banyak, Mbak!” Senang sekali dia rupanya.


Tak lama, dua bait puisi meluncur ke hadapanku. Membaca puisi itu, bibit jiwa editorku menggedor-gedor.


“Mas, maaf.”


“Ya, Mbak?”


“Boleh saya edit sedikit puisinya biar lebih enak dibaca?”


“Wah, dengan senang hati, Mbak. Silakan!”


Nah, yang begini bikin aku suka. Sebenarnya jika dipikir-pikir,  pekerjaanku membuat kue-kue itu bukan siksaan, tetapi suatu kesenangan. Ada saja yang aneh-aneh dan memberikan tantangan baru.


Dengan cepat aku mengedit puisi itu. Jujur, sudah lupa bunyinya bagaimana, yang jelas isinya adalah rayuan maut si cowok yang meminta maaf atas kesalahannya. Selesai mengedit puisi, aku kirimkan kembali padanya. Dia sangat menyukainya. Baiklah, misi harus diselesaikan. 


Setelah itu, aku menuliskan puisi itu ke selembar kertas wangi milik anakku, kemudian melipatnya jadi dua, dan membungkusnya dengan plastik agar tidak terkena noda kue. Aku pastikan tulisan menghadap ke atas, agar ketika dipotong dan diambil kuenya langsung terlihat ada sesuatu di bawahnya. 


Yang agak menjengkelkan adalah ketika harus mengangkat kue itu perlahan-lahan dari alas kue, dan menyelipkan plastik berisi kertas itu di dalamnya. Aku menahan napas saat mengangkat kue itu. Kue ini tidak boleh runtuh, harus kembali berdiri dengan sempurna di alas. Aku mengangkatnya sedikit saja, cukup untuk mendorong plastik berisi kertas itu cepat-cepat ke bawahnya. Setelah plastik itu dalam posisi yang tepat, aku meletakkan si kue perlahan-lahan. Barulah aku bisa bernapas lega ketika kue sudah kembali pada posisinya.


Aku melanjutkan pekerjaanku membuat figurin lelaki yang sedang berlutut sambil membawa bunga, sofa besar dengan figurin perempuan duduk sambil membuang muka, dan dua buah meja kecil di kiri kanan sofa. Lampu duduk kecil tak lupa kutambahkan di sana. 


Si mas pelanggan ini meminta diberikan tulisan di alas kue: Please forgive me.

Baiklah, kuturuti saja kemauannya. Kemudian aku lanjutkan dengan membuat beberapa detil kecil agar kuenya tampak lebih bagus. 


Kira-kira satu jam kemudian, kue itu pun sudah selesai dan aku siap mengemasnya. Tak sengaja, aku melihat ada pesan masuk lagi di BBM. Dari cowok yang sama.


“Mbak, maaf, saya baru kepikiran. Boleh saya minta tolong lagi?”


Waduh, apa lagi ini, pikirku. “Bagaimana, Mas?”


“Bolehkah puisinya ditulis dalam Bahasa Jawa?”


Dengan serta merta aku langsung menjawab, “Tidaaak!”


#windyeffendy #thestoryofmycakes #puisitengahmalam

Share:

0 Comentarios