The Story of My Cakes —Episode 2: Brownies Itu Laries

Setahun pertama menggeluti roti goreng dan cakue membuat aku mulai akrab dengan berbagai macam bahan kue. Lambat laun, aku mulai bereksperimen dengan resep-resep yang lain. 



Hobiku berselancar di dunia maya pun mengenalkanku pada beraneka komunitas baking dan berbagai resep kue sederhana. Salah satu yang menarik hatiku adalah sebuah resep brownies kukus cokelat.


Banyak teman yang mengatakan bahwa resep anti gagal. Aku jadi ikut tertarik membuatnya. Lagipula, aku belum punya oven. Yang ada hanyalah kukusan yang cukup besar untuk digunakan membuat beberapa loyang brownies. 


Di suatu hari cerah dengan niatku merekah, aku mulai berbelanja bahan. Toko bahan kue langgananku pun memberikan saran mana merek-merek terbaik—di zaman itu. Sepulang menjemput anak-anak dari sekolah, aku mulai beraksi. 


Selama membuat adonan roti goreng dan cakue untuk berjualan, aku selalu membeli tepung dalam jumlah besar, minimal 25 kilogram—dalam bentuk satu karung besar. Ketika aku melihat gramasi tepung dalam resep brownies, aku mendelik. Hanya 200 hingga 300 gram saja. Sungguh rasanya seperti menjumput tepung dari karung-karung itu. 


Dalam prosesnya, aku lebih takjub lagi. Proses membuat roti goreng dan cakue sangatlah lama, terutama karena adonan disiapkan dalam jumlah besar. Belum lagi masa proofing-nya, lalu cara membaliknya yang khusus. Sedangkan brownies ini hanya tinggal timbang-timbang, aduk dengan mikser, taruh di loyang, lalu dikukus. Selesai.


Sungguh aku merasa bahagia. Rasanya dalam sekali berdiri di depan meja dapur, proses itu berakhir. Sangat berbeda dengan proses pembuatan adonan roti goreng dan cakue yang melelahkan. Jumlah adonan jualan roti goreng dan cakue terasa begitu banyak dibandingkan dengan satu resep brownies kukus yang sangat sedikit.


Aku mencoba aneka tips dan trik yang disebutkan di berbagai situs dan milis yang kubaca. Salah satunya adalah membungkus tutup kukusan agar air tidak menetes ke bawah, yang akan menyebabkan permukaan brownies kukus berlubang-lubang bak permukaan bulan. Saking kuatirnya, aku berusaha membungkus tutup setiap kukusan yang kupakai. Aku kebingungan, kain lap apa yang harus kugunakan saat menggunakan kukusan besar 40x40 atau klakat—yang sebetulnya tidak perlu dibungkus karena bentuk tutupnya sudah segitiga. Akhirnya, aku mengorbankan satu sarung guling besar untuk membungkus tutup klakat. Air pun tidak menetes ke bawah dan sarung gulingku pun ternoda!


Pertama kalinya menanti si brownies matang, aku sangat deg-degan. Berhasilkah aku? Apakah aku sudah membaca resep dengan benar? Apakah aku sudah mengaduk adonan dengan cara yang tepat? 


Tak perlu waktu lama, penantianku terbayar. Ketika tutup kukusan kubuka, seketika aroma cokelat yang menggelitik lidah menguar. Anak-anakku, yang masih duduk di bangku SD dan TK, berlarian mendekat. 


Si brownies itu duduk manis dengan cantiknya menanti diangkat. Aku pun segera mengambilnya, menyajikannya untuk anak-anak, dan mengamati reaksi mereka setelah mencicip.


“Enak, Ma!” 


Rasanya semua sendi-sendiku pun meleleh seperti cokelat yang mengalir dari tengah brownies itu. Aku sangat bahagia karena anak-anak menyukainya. Tinggal menunggu komentar dari pak suami nanti sepulang kantor.


Ternyata, si bapak menyukainya. Sejak saat itu, si brownies menjadi kudapan favorit di rumah. Aku dengan senang hati membuatkan untuk anak-anak dan suamiku, sekaligus melatih kesaktian membuat kue satu ini. Berbagai macam dan teknik kucoba, hingga aku menemukan resep andalan dan bahan-bahan yang paling tepat untuk membuat rasa yang paling enak di lidah kami semua. 


Rupanya suamiku memperhatikan kesukaanku bermain brownies ini. Dia pun mengusulkan, sekalian saja brownies ini dijadikan bibit perkebunan duit. Dijual! 

Usul yang membuat aku terpana. Ide yang sangat menarik perhatianku. 


Sekali lagi, aku memutar otak. Mulailah aku membuat brand untuk si brownies. Kala itu, aku tidak memikirkan aturan pembuatan nama seperti sekarang. Hajar saja, yang penting ada mereknya dulu. Yang kupikirkan, ke depannya bisa jadi aku tidak hanya membuat brownies, tetapi juga kue-kue jenis lain. Akhirnya aku memilih nama anak bungsuku untuk dijadikan brand: Rumah Kue Ica.


Teman-teman wali murid di sekolah anak-anak pun menjadi sasaran. Tetangga pun juga menjadi kelinci percobaan. Alhamdulillah, semua suka. Tak lama, si brownies ini pun jadi primadona di kalangan mamak-mamak sekitarku. Brownies mamaknya Ica yang selalu dicari-cari. Semakin semangatlah aku membuat brownies.


Seperti yang direncanakan, tidak hanya brownies yang kutaklukkan. Aku mulai mencoba membuat pie, roti, kue kering, brownies panggang, dan aneka jenis cake lainnya. Laba yang kusisihkan sedikit demi sedikit kurupakan menjadi satu oven tangkring mungil yang menjadi sahabat setiaku di masa itu.


Tanpa terasa, aku mulai memiliki aneka bentuk loyang. Aku mulai menambah koleksi buku resep. Di masa-masa itu, selalu ada yang baru. Gagal itu biasa, justru semakin membuatku penasaran dan mencoba lagi. Bahan yang terbuang itu tak mengapa, aku yakin pasti akan ada penggantinya nanti di lain hari. 


Sebagai senjata, saat itu aku yang sudah cukup sering bermain blog, mulai mendokumentasikan kue-kue yang kubikin dalam blog. Jangan tanya bagaimana foto-fotonya, masih sangat nista! Namun, tak ada jalan lain, aku harus membuat orang mengenal Rumah Kue Ica. Aku mulai terjebak di antara urusan kue—blogging—antar jemput anak-anak—juga tentu saja urusan cakue dan roti goreng. 


Masa-masa itu menempaku menjadi lebih kuat, lebih tahan malu, lebih berani dalam segala hal. Aku yang penyuka kesendirian, kini harus bertemu orang, menawarkan dagangan sendiri. Lapak roti goreng dan cakue masih ada anak-anak yang menjadi lapis pertama saat berjumpa pelanggan. Yang satu ini, harus aku sendiri. Terlebih karena pesanan satu dengan yang lainnya bisa jadi sangat berbeda. 


Ada yang pernah memesan satu loyang brownies kopi. yang belum pernah kubuat. Aku pun mencoba berbagai resep hingga berloyang-loyang sampai menemukan yang pas. Tentu saja, preman-preman yang menghabiskan kue-kue percobaan itu hingga habis tak bersisa. Mereka adalah sahabat-sahabatku—para mama dari teman anak-anak, dan anak-anak mereka, serta anak-anakku sendiri. 


Lambat laun, mau bikin kue apa saja, selalu kulebihkan. Demi jatah preman alias japrem ini! Tak bisa dipungkiri, para preman inilah juru jualku yang sebenarnya. Berkat mereka semua, aku bisa terus mengembangkan aneka produk Rumah Kue Ica. Bahkan sekedar kriwilan atau trimingan tepian kue, para sahabatku ini akan datang menghabiskannya, licin tandas tak bersisa!


#windyeffendy #thestoryofmycakes #brownieslaries


Share:

0 Comentarios