Bukan salahmu bila kau ingin terlihat sempurna. Di mata suami, anak-anak, atau orang-orang di sekitarmu. Bukan salahmu juga bila kau merasa lelah lalu ingin berlari jauh. Begitu banyak yang harus diselesaikan dalam waktu singkat, sementara dirimu juga menjerit butuh dicintai.
Semua Harus Sempurna
Itu seringnya terjadi, dulu. Ketika anak-anakku masih di usia sekolah taman kanak-kanak dan sekolah dasar. Pagi hari adalah awal yang harus baik. Tanpa itu, seharian akan rusak karena mood yang sudah hancur. Berangkat sekolah harus diawali dengan persiapan sarapan yang sempurna—begitu pikirku tadinya. Seragam harus sudah siap, tas sekolah sudah siap, bekal sudah ada. Bangun lebih awal adalah harus, bahkan terkadang sebelum subuh. Belum lagi menyiapkan sarapan suami yang akan berangkat ke kantor. Semua itu sempurna ketika aku pun harus ikut berangkat ke sekolah untuk mengantar anak-anak. Biasanya terjadi bila suamiku dinas keluar kota.
Kekalutan itu sebenarnya hanya terjadi dalam kepala. Bila kita menarik napas panjang, mengatur langkah dengan tenang, semuanya bisa selesai. Buatku, pagi yang sempurna itu dulu harus selalu begitu. Aku, dalam kepalaku, dihantui oleh kesempurnaan yang dicontohkan oleh ibuku sedari kecil.
Semakin aku berusaha sempurna, semakin aku panik karena dalam kepala otomatis membandingkan dengan sosok ibuku. Ibu yang selalu siap dengan sarapan pagi yang sudah tertata rapi di meja makan. Bekal untukku dan kakak adikku yang sudah cakep dalam kotak makan. Perlengkapan kerja ayahku yang sudah tertata. Aku melihat ibuku menyiapkan semua itu dengan bantuan para asisten—selalu ada minimal satu asisten rumah tangga di rumah—dengan ibu yang berlari ke sana kemari memberi komando. Semakin ibuku bersikap sigap dan cepat serta semangat, semakin aku malas melihatnya. Aku memilih bersikap tidak peduli, memanfaatkan kesempurnaan yang sudah disajikan ibuku dan para asistennya, lalu aku melenggang pergi ke sekolah dan menikmati hari-hariku.
Kesalahan terbesar dengan bersikap demikian adalah aku tidak belajar dari kesempurnaan yang tersaji itu. Karena aku muak, aku memilih berpaling. Ketika tiba saatnya aku harus berjibaku sendiri dalam rumah tanggaku, aku kelimpungan. Memenuhi standar yang berputar-putar dalam kepalaku sendiri.
Aku bukan Ibuku
Suamiku sering berkata, "Jadilah dirimu sendiri. Kamu bukan ibumu." Dia selalu mengajarkan bahwa nilai-nilai yang diajarkan oleh orang tua bukan berarti lalu membuat diri kita menjadi seperti mereka. Kita bertumbuh dalam lingkungan yang bisa jadi berbeda, kawan-kawan dan tantangan-tantangan yang berbeda. Bolehlah nilai itu dijadikan patokan, tetapi jangan melekatkannya menjadi harga mati dalam dirimu. Bangunlah nilai-nilaimu sendiri.
Dari situ, aku belajar lebih asertif pada diri dan mengenali diriku. Ah, ternyata, aku bisa dengan caraku. Kesempurnaan yang diajarkan ibuku adalah contoh, aku bisa mencapainya dengan caraku sendiri.
Lambat laun, dunia tidak lagi terasa begitu menyakitkan. Ketika aku tak merasa dikejar-kejar dengan nilai yang begitu keras didoktrinkan kepadaku sedari kecil, aku bisa lebih santai menghadapi dan menjalani kehidupan keluargaku sendiri. Hasilnya? Justru lebih baik.
Aku memang bukan ibuku. Aku mulai bisa mengatasi semua masalah anak-anak dan keluarga tanpa perlu harus curhat atau minta pendapat ibuku. Nilainya bisa berbeda, normanya bisa berbeda. Keluargaku pun tumbuh dalam nilainya sendiri, bukan berarti lebih buruk. Namun, menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang kami hadapi.
Super Mom adalah Impian
Tentu saja, menjadi seorang perempuan yang bisa mengatasi segalanya adalah impian. Bisa mengatasi anak-anak yang rewel, mampu mengatur waktu dan menata rumah serta sempat memasak untuk keluarga, bisa menyajikan baju bersih tertata wangi dan sudah disetrika dengan sempurna, punya satu waktu khusus untuk berbincang dari hati ke hati dengan suami, dan yang terpenting: masih tetap cantik menawan rupawan di mata suami agar tak pindah ke lain hati.
Berat, sungguh berat, Juleha. Pasanglah standar itu, lalu cobalah untuk mencapainya. Namun, bukan berarti tidak bisa mencapai itu adalah mati. Mana yang bisa, mana yang tidak bisa, kenali saja dirimu.
Tidak bisa setrika rapi, belajar. Tidak ada waktu, tapi punya uang, gajilah orang atau kirim ke laundry. Tidak bisa memasak, belajarlah. Tidak sanggup berbau bawang atau menyiapkan segala preparasi, tapi bisa menggaji orang, lakukanlah. Jika uangmu berlebih, kau bisa membeli makanan.
Itu pilihan, mana prioritas. Waktu atau uang. Tenaga super atau keahlian di satu bidang.
Aku memilih berkompromi dengan suami. Jujur atas ketidakbisaanku dan apa yang kubisa, lalu membuat persetujuan. Laundry oke, bila keuangan memadai. Atau setrika hanya yang perlu, bila kain kusut atau segera dipakai. Memasak tak perlu menu heboh, cukup sederhana dan tetap belajar bikin yang disuka keluarga. Anak-anak diajari mandiri sejak dini, tetapi tidak dengan otoriter.
Banyak hal yang bisa dikompromikan.
Tentukan Standarmu dan Prioritasmu Sendiri
Orang lain yang terlihat begitu sempurna tidak perlu dijadikan acuan. Bangunlah sendiri aturan keluargamu, ciptakan kenyamanan dan kebahagiaan itu dalam pernikahan.
Sering kulihat akibat paparan sosial media, banyak mama yang ingin tetap jadi ahli sosialita, tetapi justru meninggalkan keriuhan dalam keluarganya. Asisten rumah tangga yang berkuasa. Sementara anak-anak masih kecil dan butuh perhatian. Lebih-lebih lagi, ketika pekerjaan bisa dilakukan dari rumah, banyak yang sibuk beraktivitas dengan etalase daringnya, sementara anak-anak tak terurus pada kenyataannya.
Nanti, akan ada waktunya saat kita bisa bersukaria bersama teman tanpa repot harus mengurus anak. Saat mereka sudah bisa berdiri sendiri, kita bisa mengatur waktu untuk bekerja lagi walau hanya dari rumah atau keluar rumah, dan bisa meluangkan lebih banyak waktu bersama teman-teman sebaya. Jangan terburu-buru ingin seperti yang di sosial media; cantik, mulus, main ke kafe dan ngopi-ngopi, foto bersama teman di tempat instagramable, pakai baju kekinian. Lalu pulang ke rumah, anak-anak belum beres makannya, suami belum beres kebutuhannya. Ada yang seperti itu? Banyak.
Memang, mari kita tentukan standar dan prioritas masing-masing. Sesuaikan dengan kebutuhan keluarga pada saat itu. Semua akan super pada waktunya. Ketika sudah terbiasa, waktu semakin luang, kehidupan semakin tenang.
Catatan:
Tulisan ini saya tumpahkan karena kegelisahan akan seseorang yang tak kunjung sadar akan pentingnya keluarga dan cintanya di atas segala jenis bentuk pekerjaan.
#windyeffendy #supermom #keluarga #love #life #family
2 comments
Keren mba Windy ceritanya... Gambarnya juga super. Salam semangat
waah makasih sekali sudah mampir ya Mbaa... terima kasih komennya. semangat juga ya mbaa
Post a Comment