Berkenalan dengan Narsistik Disorder, Bukan Sekadar Tukang Selfie

Sering kali bila menemui orang yang sedang foto selfie di tempat wisata—atau bahkan di mana saja, tercetus ucapan: "Dasar narsis!" Orang yang memuja dirinya secara berlebihan, demikian yang banyak diketahui orang. Namun, ternyata ada penyimpangan narsistik yang lebih serius daripada sekedar hobi foto diri dan memajangnya di media sosial.

 

Sebuah cerita dari seorang sahabat membuatku terkesiap. Dia menyatakan bahwa pasangan hidupnya ternyata seorang narsistik. Bukan si narsis yang suka menonjolkan dirinya dengan foto-foto semata, tetapi lebih kepada penyimpangan kepribadian narsistik.

Ternyata, ada beda antara narsis yang doyan menampilkan foto diri dengan narsistik yang benar-benar merupakan penyimpangan kepribadian. Antara percaya dan tidak percaya, aku mendengarkan kisahnya. Setelah itu, aku mulai duduk membuka Google dan mencari tahu lebih dalam tentang sebuah gangguan kepribadian yang disebut dengan Narsistik Personality Disorder ini.

Disebutkan bahwa orang yang memiliki gangguan kepribadian narsistik ini suka apabila semua perhatian berpusat kepadanya. Dia cenderung merendahkan orang lain, memanipulasi, dan juga sering menggurui orang lain. Setelah kupelajari lebih jauh, ada spektrum di gangguan kepribadian ini. Jadi, bisa saja seseorang memiliki gangguan kepribadian narsistik, walau tidak menunjukkan semua cirinya. 

Dalam kasus sahabatku ini, pasangannya lebih cenderung ada di spektrum agentic narcissism; merasa lebih mampu dari orang lain, merasa lebih berhak atas suatu kekuatan sosial, melebih-lebihkan kecerdasan dirinya. Orang seperti ini biasanya tidak tahan terhadap kritik. Dari cerita sahabatku, ketika merasa kalah pasangannya akan cenderung berlaku sebagai korban atau playing victim, yang sangat sesuai dengan jenis narsistik lainnya, tipe communal.

Tipe gangguan kepribadian narsistik bisa berkombinasi, menurut artikel yang kubaca di sini. Dengan kasus yang menimpa sahabatku, dia menjadi korban narsisme pasangannya selama bertahun-tahun. Dimanipulasi demi mencapai tujuannya, kemudian tanpa merasa bersalah bisa membalikkan fakta dan ketika terdesak akan bersikap agresif. Lebih buruknya lagi, orang-orang di sekelilingnya dipengaruhi agar tidak berpihak kepada sahabatku dengan dicekoki fakta-fakta buruk dari sudut pandangnnya. 

Di titik ini, banyak yang kemudian mengonfirmasi cerita si pasangan ini—yang menjelek-jelekkan sahabatku. Banyak dari teman-teman ini yang tak mempercayai cerita si pasangan karena mereka tahu pasti seperti apa sahabatku ini. Selama ini mereka diam, hanya karena tak ingin memperkeruh hubungan sahabatku dan pasangannya. 

Kini, setelah sahabatku menyadari gangguan kepribadian pasangannya, dia merasa kelelahan dan ingin mengakhiri semua hubungan. Namun, selalu anak-anak yang menjadi pertimbangan. Sahabatku berkata, bahkan anak-anak pun dimanipulasi untuk tidak berpihak kepadanya. Pasangannya yang selalu benar dan dia membuat semua orang menjadi kroninya dengan cara apa pun.



Sejujurnya, aku merasa sedih dengan kejadian yang menimpa sahabatku ini. Yang paling sedih lagi, si pasangan ini bersikap seolah semuanya baik-baik saja. Istri yang salihah adalah dirinya dan dia menciptakan citra di publik melalui sosial medianya. Itulah sebabnya tak ada yang percaya bahwa dia memiliki gangguan kepribadian karena di luar sana sikapnya tampak sempurna. Sahabatku yang setiap harinya berjuang sendirian karena selalu dimanipulasi dalam berbagai hal, lebih memilih menyerah daripada berusaha keras menyadarkan istrinya.

Kejadian ini membuatku mawas diri dan jadi bertanya-tanya. Apakah sebenarnya di dalam diri masing-masing ada level narsistik yang berbeda-beda? Lebih jauh lagi, kisah dan kejadian ini membuatku introspeksi diri sendiri, banyak istigfar, agar tak menciptakan sosok narsistik dalam diri dan memunculkannya tanpa kusadari. 

Lebih jauh dari itu, aku cuma bisa berdoa agar sahabatku mendapatkan jalan yang terbaik untuk hidupnya.

#opini #narsistikdisorder #windyeffendy


No comments