[Sebuah Renungan] Di Sebuah Lampu Merah

Hari ini, tepatnya siang ini. Ketika aku usai menjemput anakku ~ Ica ~ dari sekolahnya, dan segera melaju ke tempat kursus pianonya, untuk menepati janji bertemu dengan gurunya. Menggantikan les nya yang bolong minggu kemarin karena sakit...

So, di dalam mobil, aku berusaha untuk merayu si kecil ini yang sudah hampir saja mogok tidak mau berangkat les. Kami tertawa-tawa, bersenang-senang dan bernyanyi.

Di persimpangan Pertamina jalan Pemuda, dari arah Pemuda hendak putar ke jalan Thamrin, ternyata lampu merah. Aku berhenti. Dari jauh sudah aku lihat seorang anak membawa setumpuk koran hari ini berlapis plastik di tangan kirinya, sementara tangan kanannya berangsur meminta kepada pengendara motor di depanku. Meminta, bukan berusaha menjual korannya. Anak ini laki-laki, kira-kira berusia 9-10 tahun, seusia dengan Fia, my big girl.

Further, dia berjalan mendekat ke kacaku.Tangan kanan dan wajahnya yang kusam ditempelkan di kaca mobilku.
"Minta, buuu, buat makan," katanya memelas.
Aku mengambil seribuan yang ada di mobil dan kubuka kacaku sedikit. Kuberikan uang itu kepadanya.
"Minta makanan, bu.. lapar belum makan," katanya kemudian setelah menerima uang seribu itu.
Aku terdiam. "Makanan?" tanyaku bingung. Untungnya tiba-tiba aku teringat masih ada satu buah plastik mika berisi dua buah eggtart susu yang aku buat semalam, yang kubawa untuk cadangan bila anak-anak minta jajanan waktu pulang sekolah.
Aku mengambil bungkusan mika kue itu dan memberikannya kepadanya.

"Ini dik," kataku sambil tersenyum.
Yang membuat aku terkejut kemudian dia masih berkata lagi. "Nasi bu.. aku minta nasi....," katanya.
Astagfirullah, aku merasa heran dalam hati. Tapi aku mencoba untuk tersenyum.
"Itu kan sama aja. Itu enak kok, dimakan saja," kataku.
Walaupun memang aku merasa kasihan, dia mungkin belum makan nasi seharian. Tapi pikirku setidaknya kue itu bisa untuk melepas laparnya.

"Nasi  buu, aku minta nasii....," katanya lagi.
"

Aku bingung. Mana aku bawa nasi sebutirpun. Bekal Ica pun sudah habis dan tidak ada yang bisa diberikan.
"Udah itu saja, Ibu ndak punya. Itu ndak mau kah?" Aku bertanya karena posisi tangannya yang memegang koran itulah yang memegang bungkusan kue itu dengan tidak erat.

"Ndak bu, nasi bu..," katanya lagi.
Aku melihat ke arah lampu lalin, ternyata sudah hijau. Alamat aku harus berjalan. Aku tersenyum saja kepada anak itu, karena sudah tidak bisa lagi aku melakukan sesuatu. Toh meskipun dia tidak mau kue itu, tidak mungkin aku mengambilnya kembali. Aku berpikir mungkin nanti juga dimakan.

Yang mengejutkan aku kemudian, dia membanting bungkusan kue itu ke jalan aspal. Dan belum cukup itu, ditendangnya bungkusan itu sampai isinya berhamburan di jalan raya.
Terkesiap darahku rasanya sampai ke ubun-ubun. Bukan, bukan marah. Meskipun yang ditendangnya itu adalah jerihpayahku semalaman, bahkan tepatnya seharian mengerjakan bersama Ica-ku, seloyang kecil demi seloyang kecil.

Yang lebih mengejutkan aku, hatiku, jiwaku dan seluruh panca inderaku adalah  betapa ia tidak menghargai sebuah pemberian. Di saat dia merasa kurang, di saat anak ini sudah meminta kepada orang lain, dia tidak merasa perlu menghargai sebuah pemberian yang tidak sesuai dengan keinginannya.

Bahkan koran-koran yang dipeluknya pun terdiam saja tanpa pernah dijajakan, entah tidak laku atau dia kurang berusaha, yang jelas waktu berlalu membawa berita-berita itu menjadi basi.
Dia memilih meminta-minta daripada berusaha dengan halal, berdagang koran.
Dan dia memilih membuang pemberian yang sedikit karena tidak sesuai dengan apa yang dimintanya.
Bagaimana dengan uang seribu tadi? Dia juga masih merasa kurang.

Sedih dalam hatiku yang menguasai lebih besar daripada rasa marah atas terbuangnya hasil kerja kerasku itu. Walau jauh di dalam hati aku terbayang wajah sahabat-sahabatku yang baru tadi pagi berkumpul dan tertawa bersama sambil memakan kue buatanku itu. Sedihku muncul tak terkira, karena ternyata bahwa sahabat-sahabatku itu yang orang berkecukupan semua begitu menghargai jerih payah orang lain.
Sementara seseorang yang melabeli dirinya sebagai orang papa, orang tak punya, membuang-buang sedikit rejeki yang diberikan orang lain.

Apakah orang miskin, yang menyebut dirinya kekurangan, bisa begitu sombongnya hingga bisa melakukan apapun yang disukainya sebagai kaum marginal? Apakah dia bisa sebegitu mudahnya menunjukkan jati dirinya sebagai orang yang kekurangan dengan menempatkan dirinya dan membuat dirinya memelas, tapi tak bisa menghargai sedikitpun pemberian orang lain?

Sudah dua kali aku bertemu dengan, orang yang menyatakan dirinya kurang mampu, tapi dibantu sombong. Aku terkejut dengan fenomena ini. Ini orangnya, atau sedang jamannya begini? Aku tidak habis pikir.. apa yang mereka cari. Apa yang mereka mau buktikan.. Usahalah dengan semaksimalnya.. baru bila tidak bisa katakan tolong..
Jangan menempatkan dirimu dalam posisi "tolong aku" dan "aku perlu dibantu".. tapi setelah itu kau sombong..
Setelah dibantu mereka melakukan hal-hal yang membuat kita (dalam hal ini : aku) kecewa. Bila setelah itu aku memilih untuk tidak membantu, salahkah?

Ya, beli putus. Aku sudah pernah dengar. Sedekah beli putus. Memberi pun aku tidak perlu mendapatkan ucapan terima kasih.. Just.. kecewa itu ada dan melanda bila ternyata apa yang dilakukannya dengan pemberian itu menyakitkan hati..

Aku tidak bisa berkata-kata. Nalarku tidak bisa membantuku untuk memahami perlakuannya. Karena aku bodoh, ilmuku belum sampai. Tapi sekarang aku tersenyum sajalah. Ikhlas sudah. Ini hanyalah sebuah share yang semoga mencerahkan hati kita.

Bersyukurnya diriku, menemukan pelajaran berharga hari ini.
Terima kasih Ya Robb, bahwa yang telah Kau tunjukkan kepadaku, luar biasa.
Bahwa anak-anakku dan keluargaku masih diberikan rizki untuk bisa berbagi..

Semarang, 26 Jan 2011
`hollow, is about to put your heart aside and feel the darkness..

wind

Share:

0 Comentarios