Pertama kali aku melihatnya saat aku pulang ke rumah ibuku di Kota Jombang. Dia berada di bawah kursi depan dapur, diam menarik diri seolah ketakutan. Dia begitu mungil, lucu, dan cantik dengan bulu caliconya yang indah.
Aku belum pernah memiliki kucing berbulu calico. Belang telon, orang Jawa bilang. Sebagian besar bulunya putih, dengan noktah-noktah tak beraturan berwarna hitam dan coklat tua hingga coklat muda. Aku seketika jatuh cinta kepada kucing kecil ini.
Setelah meletakkan barang-barangku di kamar, aku menghambur ke belakang dan mengangkat kucing mungil itu. “Hai, kamu siapa? Kenapa kamu di sini? Kamu kok bisa di sini?” tanyaku kepadanya sambil mendekap dan mengelusnya erat.
Ibuku tertawa. Ibu bilang, kucing itu dibawa oleh salah satu pegawainya untuk dipelihara ibu. Namun, aku memintanya. Aku mau menjadikan dia temanku. Aku sudah terlanjur sayang di pandangan pertama.
Begitulah, awal Mocca mengisi hari-hariku. Entah kenapa aku memutuskan memanggilnya Mocca. Di rumahku, di Surabaya, sudah ada dua kucing persia medium campuran. Mio, kucing tabbyku yang berwarna hitam dengan coklat keemasan, dan Mochi, emak Mio yang berbulu tebal dengan warna abu-abu dominan, plus sekilas putih sekilas coklat di sana sini. Bagiku, Mocca melengkapinya.
Mocca menjadi sahabat terbaikku, tentu saja. Ikut tidur dalam pelukanku, menemaniku saat aku bekerja depan laptop, mengikutiku ke mana-mana. Yang paling kusuka dari Mocca, dia begitu lentur. Ketika aku menggendongnya di atas bahu, dia bisa nangkring dengan santai tanpa berusaha untuk menegangkan tubuh. Aku bahkan bisa bekerja dengan dua tangan bebas ketika Mocca duduk manis di atas bahuku. Love it so much.
Tak lama, Mio pun tebar pesona. Mocca hamil. Semakin lama, Mocca pun semakin gendut. Jalannya mulai pelan-pelan. Suka bermalas-malasan seharian. Aku sudah mulai jarang menggendongnya karena perutnya yang sangat besar.
Ketika sudah mendekat hari kelahirannya, aku mulai gelisah. Aku harus berangkat ke Jakarta untuk mengurus kos anak pertamaku. Namun, di balik itu aku merasa tenang karena ada satu mbak di rumah yang bisa membantu merawatnya. Mbak satu ini biasa merawat kucing dan sangat sayang dengan kucing-kucingku. Aku pun berangkat di suatu malam, setelah berpamitan kepada Mocca. Kugendong dia perlahan, kuangkat di depan mukaku sambil berkata, “Mocca, tunggu Mama, ya. Jangan lahir dulu anaknya. Nanti sama mama waktu lahiran.” Aku menciumnya dan memeluknya lembut. Ketika aku akan menutup pintu, aku melihat ke arah Mocca sekali lagi. Dia menatapku tajam dari bawah kursi.Tebersit satu perasaan tak nyaman di benakku, tetapi segera kutepis.
Jawaban yang kuterima sangat mengejutkan. Mocca sudah tiada. Anaknya terlahir mati. Anak pertamanya lama tersangkut di jalan keluarnya, dan keluar lama kemudian. Lalu, keesokan harinya, Mocca ditemukan sudah terbujur kaku di kamar belakang, di bawah ranjang. Ternyata, ada anak-anak di dalam rahimnya yang tak mampu dikeluarkannya. Dan sadly, Mocca dibuang begitu saja entah di mana oleh sopir ayahku, tidak dikubur. Bahkan kalungnya tak dilepas dan ditinggalkan untukku.Dan mereka tidak mengatakan semua itu.
Aku menghabiskan satu minggu dengan derai air mata. Kemudian, aku memutuskan untuk tidak berbicara pada mereka, para asisten di rumah, apalagi si mbak yang kutitipi. Aku merasa dibohongi habis-habisan. Aku pun beralih pada mode marah.
Satu minggu berikutnya, kuhabiskan dengan memesan mug, gantungan kunci, kaos, tempelan kulkas, dan bantal yang bergambar Mocca. Semuanya kupasang di seluruh rumah. Aku buat mereka terhantui. Aku buat mereka merasa bersalah selama mereka ada di rumah ini. Aku memutuskan untuk marah dan bersikap kejam, membalas perbuatan mereka padaku.
#windyeffendy #mocca #catfamily
No comments
Post a Comment