Rumah Sarangan bagiku seperti labirin yang tak habis-habis dijelajahi. Ada banyak ruangan yang terasa begitu besar, luas, dan menantang untuk ditelusuri. Apakah itu karena aku yang masih kecil sehingga ruangan sangat luas rasanya. Aku tak pernah tahu jawabannya hingga aku datang kembali ke sana beberapa tahun silam.
Tapi itu nanti. Aku akan bercerita tentang satu ruangan yang sangat kusuka di rumah ini.
Ini adalah kamar paling depan yang dekat dengan pintu ruang tamu. Sesungguhnya, ruang tamu itu tidak bisa dibilang sebagai ruang tamu karena hanya seperti foyer—ruang transisi dari luar rumah menuju dalam rumah—yang tak bersekat dengan ruang tengah. Lebarnya mungkin hanya sekitar dua meter dengan memanjang tiga meter ke belakang sebelum berjumpa dengan ruang tengah. Aku mengukurnya sekarang dalam bayangan, teman. Bukan karena aku saat sekecil itu sudah jenius seperti Albert Einstein.
Ini adalah kamar paling depan yang dekat dengan pintu ruang tamu. Sesungguhnya, ruang tamu itu tidak bisa dibilang sebagai ruang tamu karena hanya seperti foyer—ruang transisi dari luar rumah menuju dalam rumah—yang tak bersekat dengan ruang tengah. Lebarnya mungkin hanya sekitar dua meter dengan memanjang tiga meter ke belakang sebelum berjumpa dengan ruang tengah. Aku mengukurnya sekarang dalam bayangan, teman. Bukan karena aku saat sekecil itu sudah jenius seperti Albert Einstein.
Tepat di penghabisan tembok panjang sisi dalam rumah, di situlah ada sebuah pintu yang menuju ke kamar paling kecil di rumah itu. Dulu, semasa aku bayi, kata emakku ruang itu digunakan untuk praktek ayah. Tersambung dengan pintu lain di bagian dalam ruangan, menuju ke kamar sebelah yang lebih luas.
Setelah kami tidak lagi menetap di Malang, kami datang ke Rumah Sarangan itu hampir setiap akhir minggu. Kamar depan inilah yang menjadi kamarku dan kakakku. Ruangan yang tidak terlalu luas itu dipenuhi oleh dua ranjang single yang bersisian. Tidak banyak perabot lainnya. Dan juga tidak banyak yang kuingat, tapi yang pasti tidak ada lemari di sana. Hanya satu atau dua meja kecil di sudut ruang.
Ranjang itu bercat kuning gading atau putih tulang, entahlah, samar-samar aku mengingatnya. Hanya itu yang terpikirkan saat membayangkan warnanya. Aku masih ingat betul warnanya, yang ruwet hanyalah bagaimana menceritakannya kepada para pembaca, hahaha.
Satu hal yang membuatku sangat menyukai kamar yang mungil itu adalah kehadiran sebuah jendela bulat di satu sisi dinding yang miring. Di tengah atas, ada sebuah jendela kecil bulat yang diberi lis dari kayu dan memiliki pembagian empat bidang sama rata di permukaan jendelanya. Ah, apa namanya. Dia memiliki detil pembagi bidang jendelanya dengan kayu putih yang sama seperti lis dan kusennya. Begitu cantik, begitu indah. Jendela itu yang kupandangi saat aku akan tidur siang atau di malam hari.
Sebelum terlelap, aku sering memandang ke arah jendela sambil tiduran di ranjangku. DI siang hari aku hanya mendengar deru mobil dan kendaraan lain yang lalu lalang di depan rumah. Ketika malam tiba, aku mencoba mencari kerlip-kerlip bintang di antara pekatnya malam. Dan yang paling kusuka, saat sepotong bulan menyapaku dari balik jendela. Dia jauh di atas sana, tapi terasa begitu dekat.
Membayangkan beraneka petualangan yang bisa kulakukan dengan bulan, perlahan ia menemaniku tidur dan menuntaskan hari. Seakan menyenandungkan lagu pengantar tidur, bulan pun mengintip dari balik jendela bulat itu sambil tersenyum manis.
#windyeffendy #jurnalseptember #perlima #perempuanpenulispadma #perlimamenulish3 #rumahsarangan #serirumahmasakecil #episode03
No comments
Post a Comment