Pria itu tinggi, putih, tampan. Rambutnya tersisir rapi. Kacamatanya  membingkai matanya yang tajam. Tutur katanya lembut. Senyumnya, menawan  hati setiap mata yang menatapnya. Gerak geriknya halus, lembut, tidak  tergesa-gesa. Setiap langkahnya diikuti tatapan yang menarik perhatian,  membuatnya tidak bisa berpaling.
Hatinya berdegup kencang  saat pria itu menatapnya sesaat. Keringat menetes di dahinya. Matanya  yang takjub menatap pria itu kembali, tapi sayang sang pria memalingkan  muka dan menuju ke sudut lain ruangan. Gelisah semakin menerpa hatinya.
Lexi mendesah, dalam hatinya, tak pernah aku merasakan yang seperti ini…
Lexi  mencoba memusatkan perhatian pada layar komputer di depannya, sambil  mencoba memahami kata-kata pria itu tanpa mengerti satu pun isi  pembicaraannya. Mencari korelasi antara sepotong dua potong istilah yang  bisa dimengertinya dengan layar yang ada di depannya.
Gilang berbisik di telinganya, “Elu ngerti kagak?”
Lexi nyengir. “Nggak. Kamu ngerti?”
Gilang tertawa. “Apalagi aku. Kita salah kali ya, pergi ke sini?” Terbahak pelan kemudian, Gilang di sampingnya.
Tapi  Lexi terdiam. Mungkin iya. Mungkin juga tidak. Kalau ia tidak  berangkat, ia mungkin tak akan bertemu pria itu. Tapi dengan  keberadaannya di sini, sekarang yang didapatkan hanya hati yang sakit.  Jatuh cinta berat yang paling parah yang pernah dirasakannya. Yang dalam  hidupnya hanya sekali jatuh cinta, pada suaminya.
Pria itu  melangkah lagi menuju deretan tempat duduk di dekatnya. Hatinya semakin  tak karuan. Senyum manis dipasangnya. Tapi tidak berguna. Pria itu  senyum, tapi bukan untuk memikat hatinya. Senyumnya ramah. Seperti yang  diberikannya pada semua orang. Hatinya mendadak hampa.
Tak Cukupkah Engkau?
Masih  tak bisa dihilangkannya wajah itu dari benaknya. Perasaan yang muncul  selama berada di lab tadi membuatnya tak nyaman. Tak nyaman karena  dihiasi rasa bersalah yang tak henti. Tapi juga rasa tak nyaman karena  merasakan rasa indah yang sudah lama tak dirasakannya, bahkan dengan  suaminya sendiri. Cinta, kemana perginya?
Di sampingnya, tiba-tiba muncul Trey. “Lex, kamu sudah masak?” tanyanya.
Lexi berpaling ke arah Trey. “Belum. Kamu mau makan sekarang?”
“Iya.  Aku lapar, nih. Seadanya aja lah,” katanya sambil berjalan ke depan  televisi dan duduk di atas tatami. Menyalakan remote dan diam menonton.
Lexi menatap punggung Trey. Should I tell him?
“Jangan yang pedes-pedes ya, Lex,” tiba-tiba Trey berkata, tanpa menoleh.
Lexi terkesiap. “Oke,” katanya pelan.
Lexi  membuka kulkasnya. Masih ada daun bawang, daging ayam giling, dan mie.  Hm.. Mie souba lagi hari ini cukuplah. Trey tidak akan menolak.
Beberapa  saat kemudian Lexi sudah sibuk membuat menyiapkan makanan untuk Trey.  Setelah siap, Lexi meletakkan semuanya di meja depan televisi yang  memang multi fungsi. Untuk menonton televisi, tempat belajar anaknya,  tempat berdiskusi bagi Lexi dan suaminya, juga tempat mengerjakan tugas  atau paper yang harus diselesaikan keesokan harinya.
“Dinner is served,” katanya sambil tersenyum.
Trey  mengambil piring dan makan tanpa banyak bicara. Jauh di lubuk hatinya,  Lexi merasa sedih. Trey jarang sekali berinteraksi secara verbal. Bicara  hanya seperlunya. Baik sebelum menikah ataupun sampai sejauh ini  pernikahan mereka. Tadinya Lexi tidak perduli. Tapi setelah bertemu  dengannya, pria itu,  kehidupan terasa lebih berwarna. Walaupun hanya  bisa melihatnya dari jauh, tapi hati terasa lebih ceria, lebih indah dan  berbeda dari biasanya.
Lexi menghela nafas panjang. Menatap Trey  yang sedang lahap makan, walau seadanya, Lexi merasa dirinya tidak  banyak bersyukur. Sudah memiliki seseorang yang begitu mengerti dirinya,  sekarang dirinya menginginkan yang lain. Sedangkan pria yang  diinginkannya tidak lebih dari sejauh mata memandang tanpa bisa diraih.
Belum  cukupkah Trey untuknya? Sedih di dalam hatinya. Setelah melalui suka  dan duka bersama-sama. Berkenalan sejak masa kuliah dulu. Jatuh cinta  tanpa pamrih. Merasa tidak perlu keindahan fisik di atas keindahan hati.  Kejujuran yang selalu diberikan Trey untuknya, walau jarang  berkata-kata.
Karena itulah dulu begitu yakinnya Lexi pada Trey,  begitu mantapnya mereka satu sama lain. Sejauh ini tidak pernah ada aral  melintang. Godaan yang menerpa dari luar. Kecuali saat ini.. Di masa  ini. Di episode ini..
Ada rasa lain yang tiba-tiba hadir.  Sayangnya itu bukan buat Trey. Perasaan apakah ini? Apakah ini hanya  sekedar lalu, atau akan selalu ada? Apakah esok yang diinginkannya  adalah bersama pria itu?
Orang Bilang Itu Selingkuh Hati
Sekali lagi di  ruangan ini.  Bertemu lagi dengan pria ini. Asing, tampan, memberi rasa  hangat yang berdesir di dalam hatinya. Sumpah mati Lexi tidak mengerti  apa arti kata-katanya, tapi sungguh menyelami matanya seperti samudra  tak berdasar. Keindahan binar matanya seperti mengajaknya terbang ke  awan, meraih sejumput awan putih dan bersandar padanya. Menjabat  tangannya walau sekilas memberikan damai kepada hatinya, membawa dirinya  berlari kencang menembus pagar batas kampus ini dan mendarat di rumput  hijau tebal di padang sana, di kelilingi bunga dan wangi bau matahari.  Merasa mencinta. Merasa dicinta.
Tapi itu tidak nyata.
Yang  nyata sekarang adalah ketika lelaki asing ini memelototinya dengan  pandangan mata sebal. Karena Lexi lebih asyik melamun setinggi awan  daripada memperhatikan kata-katanya.
Lexi tersenyum bingung. “Sumimasen, Sensei,” katanya pelan.
Pria itu mendelik sekilas lalu melanjutkan penjelasannya tentang sebuah bagan mesin yang terpampang di papan putih.
Lexi  menghela nafas. Betapa dirinya merasa teraniaya dalam perasaan yang  mestinya menjadikan seseorang bergembira. Karena perasaan yang  mengunjunginya itu datang tiba-tiba pada saat dan masa yang salah. Tapi  bukan salah dia bila perasaan itu muncul tiba-tiba. Darimana datangnya  Lexi juga tidak tahu.
Lexi membuka monitornya ketika si  lelaki beranjak keluar dari laboratorium. Waktunya mengerjakan  sebisa-bisanya. Salah masuk jurusan atau salah mengambil keputusan  berangkat ke Negeri Sakura ini, Lexi tidak tahu, dan tidak mau tahu.  Sudah kepalang basah dia dan suaminya yang juga bisa mendapatkan  beasiswa yang sama ada disini, berjuang berdua menaklukkan rasa ingin  pulang.
Sebuah icon kuning berkedip-kedip di ujung monitornya.
Wina.
“Helooooo…,” ketiknya panjang setelah membuka windows chat-nya.
Gambar  icon kuning nyengir muncul. Untunglah hari ini teman karibnya itu  online sehingga dia bisa curhat habis-habisan ke ujung dunia sana.
Ngapain lu, ketik Wina.
Biasa di lab, ketiknya.
Asistensi lagi?
Iya. Kamu lagi apa?
Icon nyengir kuda itu muncul lagi. Bete, jawab Wina.
Bete kenapa lagi? Tanyanya.
Biasa, bertengkar sama Adit.
Lexi terkekeh pelan. Sahabatnya yang satu ini sangat mencintai suaminya, tapi kalau bertengkar juga habis-habisan.
Wina     : Lu sama prof gantengmu itu?
Lexi      : Gak, baru keluar dia.
Wina     : Lumayan dong sejenak… (drooling)
Lexi      : Haha, iya, penyegaran.
Wina     : Penyegaran apa penyegaraaannn….. Inget bojo dong…
Lexi      : iye inget. Saking ingetnya ampe lupa gua…
Wina     : ngakak abis deeehh..
Lexi      : Win, sumpah deh gue ada rasa ama dia..
Wina     : ah elu. Cinlok kale..
Lexi      : au ah gelap. Kayaknya gimana yah. Seneng banget ketemu dia.
Wina     : ya iya samalah ama elu dulu ketemu Trey coba, gimana..
Lexi terdiam sejenak. Bingung.
Lexi      : itu kan dulu
Wina     : dulu sih dulu pren. Tapi dah jadi laki lu. Mau dibuang kemana? Susah seneng tanggung berdua katanya. Manee??
Lexi      : yah sekarang mah aku seneng dia yang susah..
Wina     : LOL
Lexi      : trus gimana dong
Wina     : ke laut aja deh lo
Lexi      : serius neeehhh
Wina     : yah abis gimana. Lu dah kawin. Dia orang jepun sono. Mana bodi lu rambo gitu. Mana dia cintrong ama eluuu…
Lexi      : wakkakakakakakakaakka… abis gimana dong. Dia enyak banget diliat nih… Deg deg ser gitu deh tiap ketemu..
Wina     : udah deh kamu konsen ama kuliah napa sih. Ada2 aja nambahin masalah deh
Lexi      : aduh tolongin gw dong Win. Kalu ni urusan kagak selese bisa kacau neh kuliah gw
Lama Wina tidak menjawab.
Wina     : orang bilang tu selingkuh hati lo Lex.. emang kamu ga merasa?
Ganti Lexi yang terpaku di layarnya.
Wina     : Lex, hoiii lu kemane..
Lexi      : iye aku disini
Wina     : bingung?
Lexi      : iya
Wina     : sekarang gini deh. Balik lagi sama tujuan kamu ke sana ngapain. Sekolah kan? Kagak yang aneh2 macem gini kan?
Lexi      : iya
Wina     : sekarang batesin pertemuan ama dia.
Lexi      : mana bisaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa… Dia professor guweee.. ah eluu.. tiap hari juga gw ketemu kalee…
Wina     : oiye :)
Lexi      : hiks :(
Wina     : ya udah. Setiap kali lu ketemu dia, inget Trey. Jangan lepasin Trey dari imajinasimu.
Lexi      : bosen
Wina      : yaolooooooooooooo elu, Lexxx.. ini suami ikut sekolah satu rumah ke  sono aja lu selingkuh.. gimana kalo enggakk????!!!
Lexi      : tauk
Wina     : lo marah?
Lexi       : gak lah sama lu  gak mungkin gw marah. Aku bingung banget ni Win..  Kalo bisa sih setiap ketemu tu prof gak usah pake deg2 ser deh..
Wina     : emang dia dah kawin lom?
Lexi      : ude :)
Wina     : bener-bener kamu yaaaa…..
Lexi      : LOL
Wina      : ya udah terserah deh. Sekarang kamu mesti inget Bayu anak lu, ama  Trey. Kalau masih ga bisa juga, mending lu pulang deh.. eh sori bener  nih aku kudu jemput Fay. Entar onlen lagi ya. Sejam an deh.
Lexi      : iya deh. Thanks ya. Daa
Wina     : byeee….
Layar berkedip sekali lalu sepi.
Tinggal Lexi sendirian di depan layar monitornya yang berbisik hampa. Gilang, rekan satu lab nya pun tidak muncul hari itu.
Lexi  menarik scroll barnya ke atas. Terbaca sekali lagi tulisan Wina. Orang  bilang itu selingkuh hati. Oh My God, what I am doing??
Sesungguhnya, Mungkin, Cuma Cinta Lokasi..
Kantin  kampus, sepi. Mungkin karena sudah lewat jam makan siang. Lexi tidak  sempat menyiapkan bekal makan siang tadi di rumah, karena sibuk dengan  Bayu. Si kecilnya itu mulai bisa mengikuti pelajaran di sekolahnya,  gembira sekali menyiapkan bahan-bahan untuk prakarya siang ini. Lexi  sibuk bersama Bayu sampai lupa membungkuskan bekalnya sendiri dan Trey.
Biasanya  Lexi memilih membawa bekal, tapi ada daya harus ke kantinlah siang ini.  Lexi mencari tempat yang tidak terlalu menyolok. Di dekat poster konser  itu sepertinya..
..ada Trey duduk di sana.
Tidak lucu sekali kalo Lexi memilih tempat duduk yang lain sementara suaminya duduk sendirian di sana.
“Sudah lama, Trey?” tanyanya sambil duduk di depan Trey.
Trey mendongak. Teralihkan perhatiannya dari buku yang dibawanya. Makan siangnya masih utuh.
“Barusan,” katanya sambil tersenyum kecil.
Tampan. Seperti biasanya. Dan masih pendiam, irit kata. Walau sesungguhnya sangat penyayang.
“Kok telat juga makannya?” tanya Trey. Menyingkirkan sebagian bukunya dari meja supaya Lexi bisa meletakkan nampannya.
“Iya, tadi cari data agak ruwet jadi lama,” jawabnya.
Lexi  berusaha menghindari tatapan mata Trey. Ada rasa tidak nyaman yang  tiba-tiba muncul Hanya saja Lexi yakin, bahwa semuanya itu tidak bisa  dihindari. Selesaikan. Dibicarakan.
Terdiam lama di depan Trey, membuat Trey tahu.
“Ada masalah kamu, Lex?” tanya Trey tiba-tiba.
Lexi terkejut. Sebisa mungkin tidak ditampakkannya.
“Maksudnya?” Lexi masih mencoba bersikap biasa.
“Come on, don’t lie to me. Your eyes tell me more,” kata Trey, santai.
Lexi mengaduk  Misou siru-nya pelan. Gamang. Lexi tahu suatu saat ia memang harus jujur.
Kemudian  Lexi menatap Trey lama. Dipandanginya lelaki tampan itu sambil  mengingat seluruh kenangan yang pernah mereka miliki. Betapa berartinya  semua itu sampai akhirnya membawanya ke sini. Berdua dengan Trey. Bahkan  bertiga dengan  Bayu, anak tercinta mereka. Lalu hanya karena sebuah  rasa yang tidak nyata, Lexi akan membuang itu semua? Sungguh tidak  mungkin.
Yang paling nyata adalah tanggung jawabnya  setelah menyelesaikan kuliah di Jepang adalah kembali ke kampus dan  membagikan ilmunya di sana, kembali ke rutinitas sebagai dosen dengan  ilmu yang bertambah. Kembali ke dunia dan teman-teman lamanya yang  kompleks dan simpang siur. Tidak sedamai di sini, tapi kasih sayang  berlimpah ruah di sana. Rasa rindu pun muncul.
Lalu  kehidupan nyata kedua, sekolah anak-anaknya. Anak keduanya yang  ditinggal di tanah air pasti kembali dipelukannya. Dan Lexi harus  kembali membimbing dan membantu mereka menyiapkan masa depannya. Tidak  mungkin, oh no way, bila semua itu harus dibuang hanya karena impian  semu itu.
Apa yang dicarinya sebenarnya. Lexi menyelami  mata Trey yang menatapnya tajam, dalam, tapi tidak memaksa. Lexi sedang  terjerumus dalam cinta yang tidak nyata. Hanya sebuah kejutan budaya  yang membuatnya merasa lebih dicintai daripada sebelumnya. Tapi  sebenar-benar hidupnya ada di depan matanya sekarang. Di dalam mata Trey  yang menjanjikan keindahan. Meski kadang tidak seindah yang  dibayangkannya dulu semasa SMA.
Yang jelas pasti lebih  dari sekedar wajah asing tampan yang tidak pernah dikenalnya sebelumnya.  Trey lebih dari semua itu. Pengertian, kasih sayang, perlindungan. Yang  didapat tidak dalam sekejab mata. Trey luar biasa.
Ini  mungkin cuma sebuah cinta lokasi. Kejutan wajah tampan yang penuh  perhatian, tapi hanya keindahan semu yang tidak bisa dibawa pulang.  Sebuah intermezzo untuk perjalanan hidup yang lebih panjang. Sebuah  iklan di antara rangkaian tayangan yang berseri. Sebuah peringatan dari  Yang Maha Kuasa akan arti sebuah cinta sesungguhnya.
“Well? I am waiting,” tanya Trey lagi. Sambil menyuap makan siangnya, lambat.
Lexi tersenyum. “Aku baru saja bangun,” katanya sambil menggenggam tangan Trey yang bebas.
“Bangun dari mana? Bukannya dari tadi kamu melek?”
Super duper man from stone. Wajah tampan hati batu otak pejal.
“Perumpaan, Trey. Aku kaya abis bangun dari mimpi sesaat,” kata Lexi sambil tersenyum.
Trey menarik tangannya dari genggaman Lexi. “Kesambet apa kamu nih,” katanya sambil meneruskan makan.
Oh,  memang bukan waktu yang tepat. Beliau sedang sibuk makan siang, bukan  waktunya romantis. Tapi dari dulu romantis bukan termasuk agenda Trey.  Sehingga Lexi sudah biasa dengan sikapnya yang acuh.
Tapi Lexi  bertekad mengatakannya sekarang. “Aku selingkuh. Pengen selingkuh. Jatuh  cinta terus merasa seperti selingkuh. Gimana dong?”
Trey tetap meneruskan makannya. “Siapa yang mau sama kamu?”
Sialan banget. Benar-benar Trey yang dikenalnya.
“Ya gak ada, sih,” kata Lexi.
Trey  tertawa tanpa suara. “Makanya. Aku bingung. Katanya mau selingkuh.  Sudah apa belum sih? Maksudnya sudah nemu sparing partnernya apa belum?  Kalau udah kasih tau aku ya…,” Trey membolak-balik bukunya lagi.
Lexi  menghentikan tangan Trey. Setengah dongkol setengah geli, Lexi  meneruskan. “Denger dulu,” kata Lexi. “Belum ada yang mau, untungnya.  Tapi aku keburu sadar. Terus gak jadi. Gitu lo, Trey,” sambil melotot  Lexi memperhatikan reaksi Trey.
“Sama siapa?” tanya Trey datar.
Lexi terdiam sejenak. “Sensei,”katanya pelan.
Trey meletakkan sumpitnya. Menatap Lexi tajam. Lalu tertawa terbahak-bahak.
“Ngimpi  kamu, Lex.. Mana mau dia sama kamu. Udah, bangun bangun. Ayo belajar…,”  Trey tertawa tak henti-henti. Hingga beberapa orang yang berseliweran  di tempat  itu memperhatikan mereka berdua sekilas.
Lexi bersungut-sungut. “Kamu gitu banget sih, Trey. Kalo misalnya dia mau, gimana?”
Trey tertawa lagi. “Ayo kita taruhan. Yang kalah bayarin makan siang sebulan,” kata Trey masih tertawa.
Lexi melongo. Suaminya iseng banget. Sialan  banget, tapi Lexi sudah terlanjur membatalkan niat selingkuhnya.
“Hah??  Ogah!! Kagak!! Udah dikata juga aku sudah selesai. It’s over. Aku balik  sama kamu, selesai!” kata Lexi sambil menyuap dengan kesal.
Trey malah tertawa semakin keras. “Gimana sih Lex… katanya mau mulai, kok gak jadi… Yah, batal makan gratis deh aku…”
“Kamu ini sama istrinya juga..”
“Hahahaha… udah deh, percaya sama aku. Terimalah aku saja, sudah syukur deh…”
Lexi cemberut. Tapi ia tahu Trey bercanda.
Dan ia tahu semua itu dilakukan Trey karena dia geli. Karena dia merasa bahwa tidak ada yang bisa memiliki Lexi selain dia.
Trey  meneruskan makan siangnya sambil tersenyum-senyum simpul. Sesekali ia  melirik Lexi. Yang dilirik menatapnya sekilas, lalu melengos.
Tak terasa selesai sudah. Nampan sudah bersih, waktunya kembali belajar dan bekerja. Trey melirik jam tangannya.
“Aku duluan, ya. Udah kesiangan nih, nanti dicari Senseiku. Kamu masih mau di sini?”
Lexi berdiri. “Nggak deh, ikut aja. Ngapain di sini sendiri..?”
Trey menunggu Lexi selesai berberes. Lalu mereka berdua berjalan bersama ke ujung kantin itu.
Tiba  di ujung persimpangan lorong yang membawa mereka ke laboratorium  masing-masing, tanpa diduga Trey meraih tangan Lexi perlahan.
“I trust you, you know that,” katanya pelan sambil menatap Lexi tajam.
Lexi tersenyum.
“Yes, I know. I just fall in love to you, once more,” katanya pelan juga.
Trey menggenggam tangan Lexi erat sekali. Hanya sekejab.
Lalu Trey meninggalkannya termenung di sudut lorong itu sendirian.
Ternyata, jatuh cinta lagi itu tidak mudah. Walau dengan orang yang sama…
-FIN-
 *for a friend, her true story indeed. Thanks for the idea, hope this will rock you on!!!!*
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
 

.png) 
 
 
 
No comments
Post a Comment